Senin, 09 Mei 2022

Hadits tentang Khitbah

 

Hadits Ahkam 2

Tentang Khitbah

 

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S. Al-Baqarah: 235)

 

(Dan tak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita itu secara sindiran), yakni wanita-wanita yang kematian suami dan masih berada dalam idah mereka, misalnya kata seseorang kepadanya, "Engkau cantik" atau "Siapa yang melihatmu pasti jatuh cinta" atau "tiada wanita secantik engkau" (atau kamu sembunyikan) kamu rahasiakan (dalam hatimu) rencana untuk mengawini mereka. (Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka) dan tidak sabar untuk meminang, maka diperbolehkannya secara sindiran, (tetapi janganlah kamu mengadakan perjanjian dengan mereka secara rahasia), maksudnya perjanjian kawin (melainkan) diperbolehkan (sekadar mengucapkan kata-kata yang baik) yang menurut syariat dianggap sindiran pinangan. (Dan janganlah kamu pastikan akan mengakadkan nikah), artinya melangsungkannya (sebelum yang tertulis) dari idah itu (habis waktunya) tegasnya sebelum idahnya habis. (Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatimu) apakah rencana pasti atau lainnya (maka takutlah kepada-Nya) dan janganlah sampai menerima hukuman-Nya disebabkan rencanamu yang pasti itu (Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun) terhadap orang yang takut kepada-Nya (lagi Maha Penyantun) hingga menangguhkan hukuman-Nya terhadap orang yang berhak menerimanya.

Tidak ada dosa bagi kalian, wahai kaum lelaki, untuk meminang wanita-wanita yang sedang dalam idah karena ditinggal mati oleh suaminya dengan memberikan isyarat (sindiran) dan menyembunyikan maksud itu dalam hati kalian. Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa kalian tidak akan dapat bersabar untuk tidak membicarakan mereka. Karena laki-laki, secara fitrah, mempunyai kecenderungan kepada wanita. Karena itu Allah membolehkan isyarat atau sindiran, bukan dengan terang-terangan. Maka jangan kalian memberi janji kawin kepada mereka kecuali dengan cara isyarat atau sindiran yang baik. Jangan kalian mengadakan akad perkawinan sebelum berakhir masa idahnya. Yakinlah bahwa Allah Mahaperiksa terhadap apa yang kalian sembunyikan dalam hati. Maka takutlah akan hukuman-Nya dan jangan berani melakukan larangan-Nya. Juga, jangan kalian berputus asa dari kasih sayang-Nya, apabila kalian melanggar perintah-Nya. Sebab, Allah Mahaluas ampunan, memaafkan kesalahan dan menerima pertobatan dari hamba-hamba-Nya. Allah juga Maha Penyabar yang tidak segera menjatuhkan hukuman terhadap orang yang melakukan kejahatan.

 

 

حدثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حدثنا أَبُو أُسَامَةَ ، عَنْ هِشَامٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : " لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ، وَلَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا، وَلَا عَلَى خَالَتِهَا، وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْتَفِئَ صَحْفَتَهَا وَلْتَنْكِحْ، فَإِنَّمَا لَهَا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهَا "[1]

حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ نَافِعًا يُحَدِّثُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، كَانَ يَقُولُ : " نَهَى النَّبِيُّ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ، وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ، أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ "[2]

حدثنا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى ، قَالَ : قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ : أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ، فقَالَ : وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ، فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فقَالَ : " لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ "، فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ، ثُمَّ قَالَ : " تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، اعْتَدِّي عَنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ، فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي "، قَالَت فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي، فقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ، فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، فَكَرِهْتُهُ، ثُمَّ قَالَ : انْكِحِي أُسَامَةَ " ، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ بِهِ[3]

 

Keadaan Pertama :

Perempuan tersebut sudah dilamar oleh laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan laki-laki lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama membatalkan lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shohih Muslim,Kairo, Dar al Bayan, 1407/1987,  jilid 3, juz 9 : 197, begitu juga oleh Ibnu Qudamah, di dalam Al-Mughni, 10/ 567  .

 Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ

"Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya “ ( HR Muslim, no : 2519 )

Di dalam riwayat Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata :

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

“ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya  meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari, no : 4746 )

Hanya saja, para ulama berbeda di dalam menafsirkan larangan dalam hadits di atas, sebagian dari mereka mengatakan bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain  berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram. Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan : “ Maksud dari larangan hadist di atas, yaitu jika orang yang sholeh melamar seorang perempuan, maka tidak boleh laki-laki sholeh yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang sholeh ( orang fasik ), maka dibolehkan bagi laki-laki sholeh untuk melamar perempuan tersebut. “ (  ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke - 10 , juz :  2 /3 )

Apa hikmah di balik pelarangan tersebut ? Hikmahnya adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena dating laki-laki lain, dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian dan dendam antara satu dengan yang lain.

Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah swt, tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Daud dari madzhab Dhohiriyah.

Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Imam Malik.

Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak batal. .  ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, juz :  2 /3 )

Keadaan Kedua :

Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki lain, tetapi perempuan tersebut  menolak lamaran itu atau belum memberikan jawaban. Di dalam madzab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini, yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. ( al Khotib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994, Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )

Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais  yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang kepada Rasulullah saw mengadu :

قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ

Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: "Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid." Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: "Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku merasa bahagia hidup dengannya. ( HR Muslim, no : 2709 )

Berkata Imam Syafi’I menerangkan hadist di atas :

وقد أَعْلَمَتْ فَاطِمَةُ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَنَّ أَبَا جَهْمٍ وَمُعَاوِيَةَ خَطَبَاهَا وَلَا أَشُكُّ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ خِطْبَةَ أَحَدِهِمَا بَعْدَ خِطْبَةِ الْآخَرِ فلم يَنْهَهُمَا وَلَا وَاحِدًا مِنْهُمَا ولم نَعْلَمْهُ أنها أَذِنَتْ في وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَخَطَبَهَا على اسامة ولم يَكُنْ لِيَخْطُبَهَا في الْحَالِ التي نهى فيها عن الْخِطْبَةِ ولم أَعْلَمْهُ نهى مُعَاوِيَةَ وَلَا أَبَا جَهْمٍ عَمَّا صَنَعَا وَالْأَغْلَبُ أَنَّ أَحَدَهُمَا خَطَبَهَا بَعْدَ الْآخَرِ فإذا أَذِنَتْ الْمَخْطُوبَةُ في إنْكَاحِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ لم يَجُزْ خِطْبَتُهَا في تِلْكَ الْحَالِ

“ Fatimah telah memberitahukan Rasulullah saw bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan saya tidak ragu-ragu dengan izin Allah swt bahwa lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah sawpun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fatimah telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah saw melamar Fatimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam keadaan yang beliau larang ( yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar orang lain ),  saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah saw melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh melamarnya lagi “ ( Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah, 1993, cet – 1 : Juz  5/ 64  )

Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia belum memberikan jawabannya. ( Ibnu Qudamah, al Mughni : 9/ 568 )

Keadaan Ketiga :

Perempuan yang dilamar tersebut belum memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya :

Pendapat Pertama ; Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadist Ibnu Umar yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.

Pendapat Kedua : Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid ( pendapat yang terbaru ). Menurut kelompok ini bahwa di dalam hadist Fatimah binti Qais menunjukkan bahwa dia  ( Fatimah ) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah saw tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini menunjukkan kebolehan.

itu, di dalam hadist tersebut tidak disebutkan bahwa nabi Muhammad saw bertanya terlebih dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah, apakah Fatimah sudah cenderung kepada salah satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.



[1] صحيح مسلم

[2] صحيح البخارى

[3] صحيح مسلم

Tidak ada komentar:

Posting Komentar