UPAYA
PENEGAKAN HUKUM OLEH ADVOKAT DITINJAU DARI KODE ETIK
1Miftahur
Rahmi, 2Karenina Nurissa, 3Andini Semantik Subagyaeati
Hukum Keluarga Islam, Syari’ah, Universitas Islam Bandung
Jl. Tamansari No 1 Bandung
A.
Latar Belakang
Masalah
penegakan hukum di indonesia merupakan topik yang senantiasa menarik untuk
diperbincangkan. Penegakan hukum yang dari dulu hanya merupakan proses yang
tidak menemukan hasil akhir menyebabkan perbincangan yang baik dalam kajian
yang formal maupun non- formal.
Salah
satu penegak hukum yang seringkali menjadi perhatian adalah advokat, karena
kedudukan yang istimewa dalam penegakan hukum. Keistimewaan ini terlihat dari
ruang lingkup pekerjaan yang terentang dari hulu ke hilir (dari penyidikan
sampai pelaksanaan hukuman), berbeda dengan penegak hukum lain yang bersifat
parsial saja. Bidang pekerjaan advokat adalah memberikan jasa hukum atau
bantuan hukum bagi masyarakat yang membutuhkannya. Tentu saja pemberian bantuan
hukum oleh advokat dalam kerangka yang lebih besar ditujukan untuk memenuhi
tujuan hukum, memelihara keteraturan, penyeimbang berbagai kepentingan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan.
Memenangkan perkara adalah hal yang mutlak
ada dibenak pikiran setiap advokat dalam menjalankan profesinya. Ketika
menjalankan profesinya, seorang advokat telah disumpah menurut kepercayaan atau
agamanya masing-masing untuk bersungguh-sungguh menjalankan profesinya bukan hanya
sekedar mencari keuntungan secara materiil, tetapi juga harus menjalankan
tanggung jawabnya sesuai dengan kode etik maupun peraturan perundang-undangan
yang lainnya. Bukan hanya itu profesi advokat juga memiliki julukan yaitu
officium nobile yaitu profesi yang terhormat.
Advokat
sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya
berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki
kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang
teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi
Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum
lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman
sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.
Oleh
karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan
profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang
pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang
eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari
organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat
mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap
Kode Etik Advokat yang berlaku.
Dengan
demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam
menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban
kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya
baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada
dirinya sendiri. Keberadaan kode etik profesi sangat penting guna menjaga agar
advokat dalam berpraktek atau beracara tidak keluar dari nilai – nilai profesi.
Kode etik juga di perlukan guna menjaga agar advokat mengabdi kepada
kepentingan masyarakat dan menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh
masyarakat kepada masyarakat tersebut.
Pelanggaran
atas kode etik kerap sekali dilakukan oleh para advokat ketika menjalankan profesinya
dan bahkan mereka tidak segan – segan
melakukan perbuatan tersebut secara terbuka dan melanggar hukum pidana.
Sulitnya penegakan kode etik dipengaruhi oleh berbagai factor, satu diantara
faktor tersebut terletak pada materi kode etik advokat tersebut.
Advokat
dalam menjalankan profesinya untuk menegakkan keadilan rawan terhadap
masalah-masalah terutama terhadap implementasi undang-undang advokat itu
sendiri, tidak jarang advokat tersebut tersandung ke dalam masalah hukum yang
merupakan tindak criminal dalam menjalankan profesi sebagai seorang advokat.
B.
Pembahasan
a. Advokat
Kata
advokat secara etimologi berasal dari bahasa Latin advocate, yang berarti to defend,
to cell to one, is aid to voch or warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris advocate berarti: to speak in favour of or depend by argument, to support, indicate, or
recommended publicly.(Abdul Manan, 1995 : 308) Kemudian, oleh Sukris Sarmadi, advokat adalah Advokat
dalam bahasa inggris disebut dengan advocate
adalah person who does the professionally
in a court of law yakni seorang yang berprofesi sebagi seorang ahli hukum
di Pengadilan(H.A. Sukris Samardi, 2009 : 11).
Kode Etik Advokat menyebutkan pengertian
dari advokat dalam Pasal 1 huruf a bahwa, “Advokat adalah orang yang berpraktek
memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat,
Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara Praktek ataupun sebagai konsultan hukum.”
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, menyebutkan bahwa, “Advokat
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”.
b.
Kode Etik Advokat
Kode
Etik Advokat Indonesia adalah hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang
selain menjamin dan melindungi namun juga membebankan kewajiban kepada setiap
advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik
kepada klien, pengadilan, negara, atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya
sendiri (Kelik Pramudya & Ananto Widiatmoko : 98)
Menurut
Sumaryono pembentukan kode etik memiliki tujuan tersendiri, yaitu untuk :
1).
Sebagai sarana kontrol sosial Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip
profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti
kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok
profesi. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan terjadi konflik kepentingan
antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara anggota kelompok profesi
dan masyarakat. Anggota kelompok profesi atau anggota masyarakat dapat
melakukan kontrol melalui rumusan kode etik profesi, apakah anggota kelompok
profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik
profesi.
2).
Sebagai pencegah campur tangan pihak lain Kode etik profesi telah menentukan
standarisasi kewajiban profesional anggota kelompok profesi. Dengan demikian,
pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi campur tangan untuk menentukan
bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban
profesionalnya. Hubungan antara pengemban profesi dan masyarakat, misalnya
antara advokat dan klien, antara dosen dan mahasiswa, antara dokter dan pasien,
tidak perlu diatur secara detail dengan undang-undang oleh pemerintah, atau
oleh masyarakat karena kelompok profesi telah menetapkan secara tertulis norma
atau patokan tertentu berupa kode etik profesi.
3).
Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik Kode etik profesi pada dasarnya
adalah norma perilaku yang sudah dianggap benar atau yang sudah mapan dan
tentunya akan lebih efektif lagi apabila norma perilaku tersebut dirumuskan
sedemikian baiknya, sehingga memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan. Kode
etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut
pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi yang
bersangkutan.
Dengan
demikian, kode etik dapat mencegah kesalahpahaman dan konflik, sebaliknya
berguna sebagai bahan refleksi nama baik profesi. Kode etik profesi yang baik
adalah yang dapat mencerminkan nilai moral anggota kelompok profesi sendiri dan
pihak yang membutuhkan pelayanan profesi yang bersangkutan (Abdulkadir
Muhammad, 2011 : 78–79).
c. Penegakan Hukum
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti
luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan
tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang
dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui
prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative
desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih
luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan
agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para
subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar
ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti
sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap
pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya
–yang lebih sempit lagi— melalui proses peradilan pidana yang melibatkan
peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan
peradilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang
peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi,
jaksa, pengacara dan hakim. Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama
sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur
kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum
tergantung aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua,
penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi
dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat
penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum
terinstitusionalisasikan secara rasional dan impersonal (institutionalized).
Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan
melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai
faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem
yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan
mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi
(i) legislator (politisi), (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah,
(vi) polisi, (vii) jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim,
dan (x) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme
masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi nasional dan
standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu
juga diperlukan program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus
menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
profesional aparat hukum tersebut.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum
adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law
socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran,
pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum dapat
diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pembudayaan, pemasyarakatan
dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan
ide negara hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait dengan soal ini
adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sistem dan infra struktur informasi
hukum yang berbasis teknologi informasi (information technology); (b)
peningkatan Upaya Publikasi, Komunikasi dan Sosialisasi Hukum; (c)
pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan
keteladanan-keteladanan di bidang hukum.
d.
Ruang Lingkup Penegakan Hukum di Indonesia
Istilah penegakan hukum sekarang ini menjadi pembicaraan.
Penegakkan hukum sebagai bagian dari reformasi hukum karena dalam pembahsan
reformasi hukum berarti reformasi hukum secara luas tidak hanya peraturan
perundangundangan saja, tetapi mencakup reformasi sistem hukum secara
keseluruhan yaitu reformasi materi/substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum. Bahkan secara lebih luas lagi masalah reformasi hukum dan keadilan
sebenarnya bukan semata-mata masalah sistem hukum tetapi terkait dengan
keseluruhan sistem politik dan sistem sosial termasuk sistem ekonomi.
Reformasi
di bidang penegakan hukum dan struktur hukum harus ada dukungan dari berbagai
elemen/unsur pemerintah maupun masyarakat karena penegakan hukum merupakan
rangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai kewenangan
instansi/aparat penegak hukum lainnya di bidang penegakan hukum pidana, dengan
demikian reformasi penegakan hukum, bukan semata-mata merupakan tanggung jawab
bidang Departemen Hukum dan Perundangundangan saja, melainkan perlu dukungan
berbagai komponen lembaga terkait lainnya seperti Mahkamah Agung, Jaksa Agung,
Kepolisian dan lainnya. Penegakan hukum ditinjau dari sudut pandang fungsional
atau bekerjanya/berfungsinya sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan sistem peraturan perundangundangan untuk
fungsionalisasi/operasionalsasi/konkretisasi hukum pidana atau keseluruhan
sistem yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau diperasionalkan
sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana.
Penegakan
hukum pidana merupakan satu sistem di mana dalam penegakkan hukum pidana
bekerja sub sistem hukum pidana materiil/substantif, sub-sistem hukum pidana
formal dan sub-sistem hukum pelaksanaan pidana. Ketiga sub sistem itu merupakan
satu kesatuan dalam penegakkan hukum pidana karena tidak mungkin hukum pidana
dioperasionalkan/ ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub sistem
itu.
Penegakkan
hukum acara pidana, maka istilah hukum acara pidana merupakan istilah yang
popular di mana pihak-pihak yang berperan langsung dalam penegakan hukum
pidana, khususnya hukum pidana formil karena seluruh tugas, fungsi dan
kewenangannya tercantum dalam KUHAP. Istilah lain yang popular dalam kaitannya
dengan penegakan hukum pidana adalah
criminal justice sistem yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi sistem peradilan pidana. Di Indonesia digunakan istilah “sistem
peradilan pidana terpadu” sebagai salinan dari istilah integrated criminal justice sistem.
Istilah
hukum acara pidana mempunyai lingkup yang lebih sempit daripada sistem
peradilan pidana karena dalam penegakkan hukum acara pidana hanya membahas
bagaimana bekerjanya aparat penegak hukum yang dalam hal ini Polisi, Penuntut
Umum, Hakim dan Penasehat Hukum dalam mencari dan menemukan kebenaran.
Sementara masalah pembinaan narapidana tidak termasuk ke dalam hukum acara
pidana, apalagi yang menyangkut perencanaan perundang-undangan pidana. Hukum
pidana formil atau hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang
bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan
menjatuhkan sanksi pidana.
Perlu
diperhatikan, bahwa penegakkan hukum dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan
sanksinya sebagai daya pengikat dari suatu peraturan perundangundangan yakni
bahwa penegakkan hukum dilaksanakan melalui jalur pengadilan dan luar
pengadilan. Penegakkan hukum melalui jalur pengadilan dilaksanakan dengan
berbagai sanksi yang akan menimpa siapa saja yang melanggarnya. Sanksi-sanksi
tersebut adalah: pidana, perdata dan sanksi administratif. Secara sederhana
penegakkan hukum dapat diartikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan agar hukum
dapat berfungsi, beroperasi dan berwujud secara konkrit. Berdasarkan pengertian
itu, maka penegakkan hukum disamakan artinya dengan istilah fungsionalisasi
hukum, operasionalisasi hukum dan konkretisasi hukum.
Upaya
untuk menjadikan hukum berfungsi dan beroperasi sehingga terwujud secara
konkret diperlukan suatu proses. Jadi dengan demikian, dapat diartikan bahwa
penegakkan hukum adalah suatu proses bekerja dan berfungsinya hukum oleh aparat
penegak hukum terhadap perilaku-perilaku yang secara formil maupun materil
berlawanan dengan norma-norma hukum.
e. Peran Advokat dalam Penegakan Hukum
Penegakan
hukum merupakan fokus utama dalam proses reformasi dalam rangka mewujudkan
keadilan bagi masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbicara
masalah penegakan hukum tidak terlepas dari permasalahan bagaimana hukum dapat
berfungsi sesuai dengan yang diharapkan. Penegakan hukum pada hakikatnya
merupakan proses penyesuaian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku
nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi di dalam penegakan hukum adalah, 1) Faktor hukumnya itu sendiri;
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum; 3) Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan
hukum; 4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan
diterapkan; dan 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima
komponen di atas sesungguhnya tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, untuk
mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum, sangat tergantung sekali pada
eksistensi, artikulasi, performance dan harmonisasi dari komponen-komponen
tersebut, dari kelima komponen di atas yang benar-benar dirasakan oleh
masyarakat bahwa penegakan hukum tidak berjalan sesuai dengan harapan adalah
lemahnya faktor penegak hukum itu sendiri. Seringkali masyarakat mengatakan bahwa
sebaikbaiknya aturan, tanpa didukung oleh aparat penegak hukum yang baik, tidak
akan berjalan dengan baik, dan sebaliknya, meskipun hukum mempunyai
kelemahankelemahan secara substantif, apabila dilaksanakan/ditegakkan oleh
aparat penegak hukum yang baik, maka akan hasilnya akan baik pula.
Pasal
24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-ban lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang
merdeka. Salah
satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab,
sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.
Ketentuan Pasal
5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum
yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang
merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya
wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan
kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu
PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri
(independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.
Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya
penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara,
bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara
dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama
praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata
rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak
bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin
kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.
Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu
harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi
Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu
agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah atau janji advokat
yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu:
“Demi Allah saya
bersumpah/saya berjanji :
- bahwa saya akan memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia;
- bahwa saya untuk memperoleh profesi ini,
langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi
sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab
berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi
di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau
menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
- bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya
dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan
tanggung jawab saya sebagai Advokat;
- bahwa saya tidak akan menolak untuk
melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut
hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai
seorang Advokat.
Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani
profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya
setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi,
meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat
lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan
keadilan.
Selain itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai
penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU
Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap
pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh
Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa
advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:
a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan
kliennya;
b. berbuat atau
bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata,
atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap
hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan
kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
e. melakukan pelanggaran terhadap peraturan
perundangundangan dan atau perbuatan tercela;
f. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode
etik profesi Advokat.
f.
Infrastruktur sebagai Sistem Kode Etik Advokat
Untuk menunjang berfungsinya sistem hukum diperlukan
suatu sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap
sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata tertib
serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organisasi
masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar dan Anggaran atau
Pedoman Rumah Tangga organisasi. Namun, baru sedikit sekali di antara
organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perangkat Kode
Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun
Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Di samping itu,
kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada,
dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh
dijadikan pedoman perilaku berorganisasi. Pada umumnya, dokumen-dokumen peraturan,
pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut hanya dibuka dan dibaca
pada saat diadakan kongres, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang
bersangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut hanya biasa dilupakan.
Demikian pula halnya UU Advokat teleh menentukan
adanya kewajiban menyusun kode etik profesi advokat oleh Organisasi Advokat
untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat. Setiap advokat
wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung
sepenuhnya kepada advokat dan Organisasi Advokat.
Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode
etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya
taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun
aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik
profesi. Tradisi taat
aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan Dewan
Kehormatan yang credible diikuti
dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif.
Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa
kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka
ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa
adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat
menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan
keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat.
C.
Kesimpulan
Advokat
yang menjunjung tinggi integritas adalah advokat yang telah melaksanakan kode
etik advokat secara baik karena integritas advokat tersebut pasti dilandasi
perilaku yang mencerminkan etika, moral dan tanggungjawab sebagai advokat.
Ketidakpatuhan terhadap kode etik advokat menimbulkan cerminan bahwa advokat
tersebut belum memahami makna kebebasan yang diberikan oleh hukum yaitu
undang-undang dan kode etik. Namun sayangnya, fungsi pengawasan dan pelaksanaan
kode etik melalui Dewan Kehormatan di Organisasi Advokat masih belum menemukan
kesatupaduannya, hal itu dikarenakan tidak adanya wadah tunggal Organisasi
Advokat yang diatur secara tegas dan jelas.
Peran
advokat dalam penegakan hukum dikategorikan sangat berperan senantiasa siap
memberikan bantuan kepada setiap klien yang datang meminta bantuan dalam
menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi dan tidak membeda-bedakan
mereka.
Peran
advokat dalam penegakan hukum adalah pemberian jasa hukum, baik di dalam maupun
di luar pengadilan. Jasa hukum tersebut meliputi : konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Dalam
prosesnya, penegakan hukum memerlukan tiga komponen penting yang saling berinteraksi,
bersinergi bahkan berinterdependensi antara komponen yang satu dengan komponen
yang lainnya.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2007).
Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum.
Nugroho, F. M. (2016).
Integritas Advokat dan Kebebasannya Dalam Berprofesi : Ditinjau dari
Penegakan Kode Etik Advokat. Rechtidee (1), 14-29.
Raharjo, A., & Sunarnyo,
S. (2014). Penilaian Profesionalisme Advokat dalam Penegakan Hukum melalui
Pengukuran Indikator Kinerja Etisnya. Media Hukum 21 (2), 16.
Rozi, M. M. (2017). Peranan
Advokat Sebagai Penegak Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Dikaji Menurut
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Jurnal Hukum Mimbar
Justitia.
Saputra, A. A. (2017).
Pertanggungjawaban Pidana Advokat dalam Menjalankan Profesi Berkaitan dengan
Itikad Baik dalam Pasal 16 Undang-Undang Advokat. Kertha Wicara: Journal
Ilmu Hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar