Senin, 09 Mei 2022

JURNAL UPAYA PENEGAKAN HUKUM OLEH ADVOKAT DITINJAU DARI KODE ETIK

 

UPAYA PENEGAKAN HUKUM OLEH ADVOKAT DITINJAU DARI KODE ETIK

1Miftahur Rahmi, 2Karenina Nurissa, 3Andini Semantik Subagyaeati

Hukum Keluarga Islam, Syari’ah, Universitas Islam Bandung

Jl. Tamansari No 1 Bandung

Miftah280317@gmail.com

A. Latar Belakang

Masalah penegakan hukum di indonesia merupakan topik yang senantiasa menarik untuk diperbincangkan. Penegakan hukum yang dari dulu hanya merupakan proses yang tidak menemukan hasil akhir menyebabkan perbincangan yang baik dalam kajian yang formal maupun non- formal.

Salah satu penegak hukum yang seringkali menjadi perhatian adalah advokat, karena kedudukan yang istimewa dalam penegakan hukum. Keistimewaan ini terlihat dari ruang lingkup pekerjaan yang terentang dari hulu ke hilir (dari penyidikan sampai pelaksanaan hukuman), berbeda dengan penegak hukum lain yang bersifat parsial saja. Bidang pekerjaan advokat adalah memberikan jasa hukum atau bantuan hukum bagi masyarakat yang membutuhkannya. Tentu saja pemberian bantuan hukum oleh advokat dalam kerangka yang lebih besar ditujukan untuk memenuhi tujuan hukum, memelihara keteraturan, penyeimbang berbagai kepentingan, kesejahteraan, dan kebahagiaan.

     Memenangkan perkara adalah hal yang mutlak ada dibenak pikiran setiap advokat dalam menjalankan profesinya. Ketika menjalankan profesinya, seorang advokat telah disumpah menurut kepercayaan atau agamanya masing-masing untuk bersungguh-sungguh menjalankan profesinya bukan hanya sekedar mencari keuntungan secara materiil, tetapi juga harus menjalankan tanggung jawabnya sesuai dengan kode etik maupun peraturan perundang-undangan yang lainnya. Bukan hanya itu profesi advokat juga memiliki julukan yaitu officium nobile yaitu profesi yang terhormat.

Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.

Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.

Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. Keberadaan kode etik profesi sangat penting guna menjaga agar advokat dalam berpraktek atau beracara tidak keluar dari nilai – nilai profesi. Kode etik juga di perlukan guna menjaga agar advokat mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat kepada masyarakat tersebut.

Pelanggaran atas kode etik kerap sekali dilakukan oleh para advokat ketika menjalankan profesinya dan bahkan mereka  tidak segan – segan melakukan perbuatan tersebut secara terbuka dan melanggar hukum pidana. Sulitnya penegakan kode etik dipengaruhi oleh berbagai factor, satu diantara faktor tersebut terletak pada materi kode etik advokat tersebut.

Advokat dalam menjalankan profesinya untuk menegakkan keadilan rawan terhadap masalah-masalah terutama terhadap implementasi undang-undang advokat itu sendiri, tidak jarang advokat tersebut tersandung ke dalam masalah hukum yang merupakan tindak criminal dalam menjalankan profesi sebagai seorang advokat.

 

B. Pembahasan

       a. Advokat

Kata advokat secara etimologi berasal dari bahasa Latin advocate, yang berarti to defend, to cell to one, is aid to voch or warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris advocate berarti: to speak in favour of or depend by argument, to support, indicate, or recommended publicly.(Abdul Manan, 1995 : 308) Kemudian, oleh Sukris Sarmadi, advokat adalah Advokat dalam bahasa inggris disebut dengan advocate adalah person who does the professionally in a court of law yakni seorang yang berprofesi sebagi seorang ahli hukum di Pengadilan(H.A. Sukris Samardi, 2009 : 11). 

     Kode Etik Advokat menyebutkan pengertian dari advokat dalam Pasal 1 huruf a bahwa, “Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara Praktek ataupun sebagai konsultan hukum.” 

     Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, menyebutkan bahwa, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”.       

b. Kode Etik Advokat

Kode Etik Advokat Indonesia adalah hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang selain menjamin dan melindungi namun juga membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara, atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya sendiri (Kelik Pramudya & Ananto Widiatmoko : 98)     

Menurut Sumaryono pembentukan kode etik memiliki tujuan tersendiri, yaitu untuk :

1). Sebagai sarana kontrol sosial Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara anggota kelompok profesi dan masyarakat. Anggota kelompok profesi atau anggota masyarakat dapat melakukan kontrol melalui rumusan kode etik profesi, apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi.

2). Sebagai pencegah campur tangan pihak lain Kode etik profesi telah menentukan standarisasi kewajiban profesional anggota kelompok profesi. Dengan demikian, pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya. Hubungan antara pengemban profesi dan masyarakat, misalnya antara advokat dan klien, antara dosen dan mahasiswa, antara dokter dan pasien, tidak perlu diatur secara detail dengan undang-undang oleh pemerintah, atau oleh masyarakat karena kelompok profesi telah menetapkan secara tertulis norma atau patokan tertentu berupa kode etik profesi.

3). Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik Kode etik profesi pada dasarnya adalah norma perilaku yang sudah dianggap benar atau yang sudah mapan dan tentunya akan lebih efektif lagi apabila norma perilaku tersebut dirumuskan sedemikian baiknya, sehingga memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan. Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi yang bersangkutan.

Dengan demikian, kode etik dapat mencegah kesalahpahaman dan konflik, sebaliknya berguna sebagai bahan refleksi nama baik profesi. Kode etik profesi yang baik adalah yang dapat mencerminkan nilai moral anggota kelompok profesi sendiri dan pihak yang membutuhkan pelayanan profesi yang bersangkutan (Abdulkadir Muhammad, 2011 : 78–79).

       c. Penegakan Hukum

Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me­lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng­keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu­tion). Bah­kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat­an pe­ne­gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di­mak­sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma­tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se­gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be­nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti­nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me­nyang­kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe­nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang­an, khu­susnya –yang lebih sempit lagi— melalui proses per­adil­an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke­jak­saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per­adilan.

Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranan­nya sangat menonjol dalam proses penegakan hu­kum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para pe­ne­gak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso­alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja­bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga­nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca­mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti­tusio­na­lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio­na­lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.

Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi), (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah, (vi) polisi, (vii) jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi na­sional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pen­didikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.

Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum da­pat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pem­bu­dayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide nega­­ra hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait de­ngan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sis­tem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis tek­nologi informasi (information technology); (b) pening­katan Upaya Publikasi, Ko­munikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bi­dang hukum.           

d. Ruang Lingkup Penegakan Hukum di Indonesia

            Istilah penegakan hukum sekarang ini menjadi pembicaraan. Penegakkan hukum sebagai bagian dari reformasi hukum karena dalam pembahsan reformasi hukum berarti reformasi hukum secara luas tidak hanya peraturan perundangundangan saja, tetapi mencakup reformasi sistem hukum secara keseluruhan yaitu reformasi materi/substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Bahkan secara lebih luas lagi masalah reformasi hukum dan keadilan sebenarnya bukan semata-mata masalah sistem hukum tetapi terkait dengan keseluruhan sistem politik dan sistem sosial termasuk sistem ekonomi.

Reformasi di bidang penegakan hukum dan struktur hukum harus ada dukungan dari berbagai elemen/unsur pemerintah maupun masyarakat karena penegakan hukum merupakan rangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai kewenangan instansi/aparat penegak hukum lainnya di bidang penegakan hukum pidana, dengan demikian reformasi penegakan hukum, bukan semata-mata merupakan tanggung jawab bidang Departemen Hukum dan Perundangundangan saja, melainkan perlu dukungan berbagai komponen lembaga terkait lainnya seperti Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepolisian dan lainnya. Penegakan hukum ditinjau dari sudut pandang fungsional atau bekerjanya/berfungsinya sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem peraturan perundangundangan untuk fungsionalisasi/operasionalsasi/konkretisasi hukum pidana atau keseluruhan sistem yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau diperasionalkan sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana.

Penegakan hukum pidana merupakan satu sistem di mana dalam penegakkan hukum pidana bekerja sub sistem hukum pidana materiil/substantif, sub-sistem hukum pidana formal dan sub-sistem hukum pelaksanaan pidana. Ketiga sub sistem itu merupakan satu kesatuan dalam penegakkan hukum pidana karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub sistem itu.

Penegakkan hukum acara pidana, maka istilah hukum acara pidana merupakan istilah yang popular di mana pihak-pihak yang berperan langsung dalam penegakan hukum pidana, khususnya hukum pidana formil karena seluruh tugas, fungsi dan kewenangannya tercantum dalam KUHAP. Istilah lain yang popular dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana adalah criminal justice sistem yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi sistem peradilan pidana. Di Indonesia digunakan istilah “sistem peradilan pidana terpadu” sebagai salinan dari istilah integrated criminal justice sistem.

Istilah hukum acara pidana mempunyai lingkup yang lebih sempit daripada sistem peradilan pidana karena dalam penegakkan hukum acara pidana hanya membahas bagaimana bekerjanya aparat penegak hukum yang dalam hal ini Polisi, Penuntut Umum, Hakim dan Penasehat Hukum dalam mencari dan menemukan kebenaran. Sementara masalah pembinaan narapidana tidak termasuk ke dalam hukum acara pidana, apalagi yang menyangkut perencanaan perundang-undangan pidana. Hukum pidana formil atau hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan sanksi pidana.

Perlu diperhatikan, bahwa penegakkan hukum dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan sanksinya sebagai daya pengikat dari suatu peraturan perundangundangan yakni bahwa penegakkan hukum dilaksanakan melalui jalur pengadilan dan luar pengadilan. Penegakkan hukum melalui jalur pengadilan dilaksanakan dengan berbagai sanksi yang akan menimpa siapa saja yang melanggarnya. Sanksi-sanksi tersebut adalah: pidana, perdata dan sanksi administratif. Secara sederhana penegakkan hukum dapat diartikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan agar hukum dapat berfungsi, beroperasi dan berwujud secara konkrit. Berdasarkan pengertian itu, maka penegakkan hukum disamakan artinya dengan istilah fungsionalisasi hukum, operasionalisasi hukum dan konkretisasi hukum.

Upaya untuk menjadikan hukum berfungsi dan beroperasi sehingga terwujud secara konkret diperlukan suatu proses. Jadi dengan demikian, dapat diartikan bahwa penegakkan hukum adalah suatu proses bekerja dan berfungsinya hukum oleh aparat penegak hukum terhadap perilaku-perilaku yang secara formil maupun materil berlawanan dengan norma-norma hukum.

       e. Peran Advokat dalam Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan fokus utama dalam proses reformasi dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbicara masalah penegakan hukum tidak terlepas dari permasalahan bagaimana hukum dapat berfungsi sesuai dengan yang diharapkan. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan proses penyesuaian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam penegakan hukum adalah, 1) Faktor hukumnya itu sendiri; 2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3) Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan; dan 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima komponen di atas sesungguhnya tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum, sangat tergantung sekali pada eksistensi, artikulasi, performance dan harmonisasi dari komponen-komponen tersebut, dari kelima komponen di atas yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat bahwa penegakan hukum tidak berjalan sesuai dengan harapan adalah lemahnya faktor penegak hukum itu sendiri. Seringkali masyarakat mengatakan bahwa sebaikbaiknya aturan, tanpa didukung oleh aparat penegak hukum yang baik, tidak akan berjalan dengan baik, dan sebaliknya, meskipun hukum mempunyai kelemahankelemahan secara substantif, apabila dilaksanakan/ditegakkan oleh aparat penegak hukum yang baik, maka akan hasilnya akan baik pula.

 

Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-ban lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab, sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.

Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.

Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.

Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu:

“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :

-      bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;

-      bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;

-      bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;

-      bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;

-      bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;

-      bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.

 

Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi, meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan.

Selain itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:

a.    mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;

b. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;

c.    bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;

d.    berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;

e.    melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela;

f.     melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

       f. Infrastruktur sebagai Sistem Kode Etik Advokat

Untuk menunjang ber­fungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap sektor ke­negaraan dan pemerintahan selalu terda­pat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organi­sasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organi­sasi. Namun, baru sedikit sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perang­kat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh di­jadikan pedoman peri­laku berorganisasi. Pada umumnya, dokumen-dokumen per­aturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga terse­but hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kong­res, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang ber­sangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut ha­nya biasa dilupakan.

Demikian pula halnya UU Advokat teleh menentukan adanya kewajiban menyusun kode etik profesi advokat oleh Organisasi Advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan Organisasi Advokat.

Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi. Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan Dewan Kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif.

Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat.

C. Kesimpulan

Advokat yang menjunjung tinggi integritas adalah advokat yang telah melaksanakan kode etik advokat secara baik karena integritas advokat tersebut pasti dilandasi perilaku yang mencerminkan etika, moral dan tanggungjawab sebagai advokat. Ketidakpatuhan terhadap kode etik advokat menimbulkan cerminan bahwa advokat tersebut belum memahami makna kebebasan yang diberikan oleh hukum yaitu undang-undang dan kode etik. Namun sayangnya, fungsi pengawasan dan pelaksanaan kode etik melalui Dewan Kehormatan di Organisasi Advokat masih belum menemukan kesatupaduannya, hal itu dikarenakan tidak adanya wadah tunggal Organisasi Advokat yang diatur secara tegas dan jelas.

Peran advokat dalam penegakan hukum dikategorikan sangat berperan senantiasa siap memberikan bantuan kepada setiap klien yang datang meminta bantuan dalam menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi dan tidak membeda-bedakan mereka.

Peran advokat dalam penegakan hukum adalah pemberian jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Jasa hukum tersebut meliputi : konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Dalam prosesnya, penegakan hukum memerlukan tiga komponen penting yang saling berinteraksi, bersinergi bahkan berinterdependensi antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2007). Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum.

Nugroho, F. M. (2016). Integritas Advokat dan Kebebasannya Dalam Berprofesi : Ditinjau dari Penegakan Kode Etik Advokat. Rechtidee (1), 14-29.

Raharjo, A., & Sunarnyo, S. (2014). Penilaian Profesionalisme Advokat dalam Penegakan Hukum melalui Pengukuran Indikator Kinerja Etisnya. Media Hukum 21 (2), 16.

Rozi, M. M. (2017). Peranan Advokat Sebagai Penegak Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Dikaji Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Jurnal Hukum Mimbar Justitia.

Saputra, A. A. (2017). Pertanggungjawaban Pidana Advokat dalam Menjalankan Profesi Berkaitan dengan Itikad Baik dalam Pasal 16 Undang-Undang Advokat. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar