ANALISIS
TERHADAP ETIKA PROFESI HAKIM ISLAM
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi Hukum yang diampu
oleh : Dr. Nandang Ihwanudin, S.Ag., M.E.Sy.
Disusun
oleh
KELOMPOK (6)
-Abdullah
Al Ghifari (10010118068)
-Akhmad
Salman Fauzan (10010117038)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2020
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Analisis Terhadap Etika
Profesi Hakim Islam tepat waktu.
Makalah Analisis Terhadap Etika Profesi Hakim Islam disusun guna memenuhi tugas
DR. Nandang Ihwanudin, S.AG., M.E.SY.
pada mata kuliah Etika Profesi Hukum di Universitas Islam Bandung. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
tentang Analisis Terhadap Etika Profesi Hakim Islam. Penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada DR. Nandang Ihwanudin, S.AG., M.E.SY selaku dosen
mata kuliah Etika Profesi Hukum. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan makalah ini.
Bandung, 5 November 2020
Kelompok 6
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Polisi adalah
aparat penegak hukum. Tetapi dalam
kenyataan yang terjadi
ada sebagian anggota itu
bertindak sebaliknya dan tidak
sesuai dengan etika
profesi kepolisian. Atau dalam
arti kata ada sebagian polisi
melakukan pelanggaran
terhadap kode etik
profesi kepolisian.
Pelanggaran ataupun perbuatan
pidana anggota kepolisian yang
tidak sesuai dengan kode
etik kepolisian ini
tentunya berakibat hukum. Permasalahan kedua dapat diberikan jawaban bahwa
penyelesaian pelanggaran kode
etik profesi kepolisian yang
mengakibatkan terjadinya tindak
pidana. Ketentuan mengenai Kode
Etik Profesi Polri sebagaimana
diatur dalam Peraturan Kapolri No. 7 tahun
2006 dan Peraturan Kapolri No.8
Tahun 2006, merupakan kaidah moral
dengan harapan tumbuhnya komitmen yang
tinggi bagi seluruh
anggota Polri agar mentaati
dan melaksanakan (mengamalkan) Kode
Etik Profesi Polri dalam segala
kehidupan, yaitu dalam pelaksanaan tugas, dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam
pengabdian kepada masyarakat,
bangsa dan negara. Hakim
adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili. Dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa hakim
adalah penegak hukum dan keadilan yang wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilainilai hukum yang hidup di masyarakat. Dengan demikian, hakim sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh
kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat
menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya menurut Undang-undang yang
berlaku. Karenanya, hakim
merupakan profesi yang mulia. Seorang hakim dituntut untuk menjalankan kode
etika sebagai simbol profesionalisme. Namun dalam perkembangannya, menjadi
sebuah keniscayaan akan terjadi gejala-gejala penyalahgunaan terhadap profesi
hakim, yang seharusnya dengan penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum
dapat menyelenggarakan dan menegakkan keadilan di masyarakat. Keniscayaan
tersebut terjadi ketika seorang hakim yang notabene adalah salah satu aparat
penegak hukum (legal aparatus) belum menghayati dan melaksanakan kode etik
profesi dalam melaksanakan profesinya. Seperti adanya pelbagai kasus gugatan
publik terhadap profesi hakim. Ini membuktikan, bahwa kode etik tampaknya belum
bisa dilaksanakan. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya belum bisa
diaplikasikan. Munculnya wacana pemikiran tentang kode etik profesi hakim ini
akan menjadi bahan masukan bagi penegak keadilan sebagai bahan evaluasi yang
menitikberatkan pada analisis nilai-nilai Islami yang terkandung dalam kode
etik profesi hakim. Tulisan ini penting karena didorong oleh realitas profesi
hakim yang mengabaikan nilai-nilai moralitas, sekaligus untuk membangun kembali
kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir
keadilan.
1.2.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian hakim?
2.
Apa
dasar dan syarat pengangkatan hakim?
3.
Apa
saja tugas, fungsi dan tanggung jawab hakim dalam menjalakan tugasanya?
4.
Bagaimanna kode etik
profesi hakim islam?
1.3.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui dan memahami pengertian hakim.
2. Untuk
mengetahui dan memahami dasar
dan syarat pengangkatan hakim.
3. Untuk
mengetahui dan memahami tugas,
fungsi dan tanggung jawab hakim dalam menjalakan tugasanya.
4. Untuk
mengetahui dan memahami kode etik profesi hakim islam.
Bab
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Hakim
Hakim berasal dari
kata حكم semakna dengan
qâdhi yang artinya memutus. Sedang kan menurut bahasa adalah orang yang
bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya[1].
Adapun pengertian menurut syara’ yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara
untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihanperselisihan dalam
bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan
tugas peradilan.[2]
Sebagaimana pernah dipraktikkan oleh nabi Muhammad ketika mengangkat qâdhi
untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang
jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya[3].
Hal ini terjadi pada sahabat dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan Bani
Abbasiah. Akibat dari semakin luasnya wilayah Islam dan kompleknya masalah yang
terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan hakim-hakim untuk menyelesaikan
setiap perkara yang terjadi di masyarakat.
2.2.
Dasar dan Syarat Pengangkatan Hakim
Hakim sebagai
pelaksana hukum mempunyai kedudukan yang sangat penting sekaligus mempunyai
beban yang sangat berat. Dipandang penting karena melalui hakim akan tercipta
produk-produk hukum. Diharap kan dari produk hukum ini dapat mencegah dan
meminimalisasi segala bentuk kezaliman sehingga terjaminnya ketenteraman
masyarakat. Imam Mawardi menyatakan bahwa bahwa hakim harus diketahui
identitasnya, harus memahami tugas atas pekerjaanya, menyebut wewenang dan
wilayahnya (Negara atau Propinsi).[4]
Sedangkan dalam literatur Islam atau fikih ada beberapa persyaratan yang
menjadi persamaan dan perbedaan. Persamaannya hakim harus berakal, Islam, adil,
berpengetahuan baik dalam pokok hukum agama dan cabang-cabangnya, sehat
pendengaran, penglihatan dan ucapan, dan merdeka bukan hamba sahaya.[5]
Adapun perbedaannya adalah disyaratkan hakim lakilaki dan tidak boleh
perempuan. Meskipun ini menjadi perdebatan para ulama. Ulama dari empat mazhab
kecuali Abû Hanîfah membolehkan selain dalam urusan had dan qishâsh, karena
kesaksian dalam dua hal tersebut tidak dapat diterima.[6]
Hal ini sebagaimana dalam sebuah
hadis:
لن
يفلح قوم ولوامرهم امرأة
Hadis di atas menerangkan bahwa perempuan
dianggap belum mampu membawa kemenangan atau kemajuan. Persyaratan wanita tidak
boleh menjadi hakim, merupakan persyaratan pada masa dahulu dikarenakan luasnya
wilayah Islam, dan banyaknya permasalahan yang muncul sehingga menjadi komplek,
sedangkan lembaga peradilan masih sangat sedikit. Namun dalam kontek
kontemporer, peradilan yang sudah merata dan perkembangan kehidupan yang
semakin maju, persyaratanpersyaratan tersebut sudah tidak relevan lagi.
إذا
حکم الحاکم فاجتهد ثم اصاب فله أجران واذاحکم فاجتهد ثم فأخطاء فله أجره
فريضة محكمة وسنة متبعة
Berdasarkan hadis
dan ijma› tersebut dijelaskan tentang keutamaan ijtihad seorang hakim. Ijtihad
yang dilakukan hakim sebagai salah satu usaha menggali hukum guna melindungi
kepentingan orang-orang yang teraniaya dan untuk menghilangkan
sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat. Sejarah Islam membuktikan,
posisi hakim sangat dibutuhkan dalam sebuah pemerintahan. Hal ini seperti pada
masa Bani Umayyah, misalnya, khalifah mengangkat qâdhi pusat, sementara di
daerah diserahkan pada penguasa daerah dan hanya diberi wewenang untuk memutuskan
perkara, sedangkan untuk pelaksanaan putusan oleh khalifah langsung atau oleh
utusannya.[7]
Sedangkan pada masa Bani Abbasiah dibentuknya Mahkamah Agung, pembentukan hakim
setiap wilayah, pembukuan dan mulainya organisasi peradilan, sehingga menempatkan
hakim sebagi sosok yang sangat diperlukan dan mempunyai peranan penting. [8]
2.3.
Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim Dalam menjalankan tugasnya
hakim memiliki
kebebasan untuk membuat keputusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh
lainnya.[9]
Hakim menjadi tumpuan dan harapan bagi pencari keadilan. Hakim juga memiliki
kewajiban ganda, di satu pihak merupakan pejabat yang ditugasi menerapkan hukum
(izhâr al-hukm) terhadap perkara yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun
tidak tertulis, di lain pihak sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk
dapat menggali, memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Secara makro
dituntut untuk memahami rasa hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dalam
undang-undang disebutkan tugas pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.[10]
Artinya, hakim sebagai unsur pengadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[11] Nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut seperti persepsi masyarakat tentang
keadilan, kepastian, hukum dan kemanfaatan. Hal ini menjadi tuntutan bagi hakim
untuk selalu meningkatkan kualitasnya sehingga dalam memutuskan perkara
benar-benar berdasarkan hukum yang ada dan keputusannya dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam menyelesaikan suatu perkara ada beberapa tahapan
yang harus di lakukan oleh hakim diantaranya mengkonstatir yaitu yang
dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada
putusan hakim.[12]Mengkonstatir
ini dilakukan dengan terlebih dahulu melihat pokok perkara dan kemudian
mengakui atau membenarkan atas peristiwa yang diajukan, tetapi sebelumnya telah
diadakan pembuktian terlebih dahulu. Selain itu mengkualifisir, yaitu yang
dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan. Ini merupakan suatu
penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti, faktafakta hukum dan menemukan
hukumnya. Dan terakhir adalah mengkonstituir, yaitu yang dituangkan dalam surat
putusan. Tahap tiga ini merupakan penetapan hukum atau merupakan pemberian
konstitusi terhadap perkara. Tahapan-tahapan tersebut menuntut hakim untuk jeli
dan hati-hati dalam memberikan keputusan sekaligus menemukan hukumnya, karena
pada dasarnya hakim dianggap mengetahui hukum dan dapat mengambil keputusan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan keyakinannya sesuai dengan doktrin Curia Ius
Novit.[13]
Hal ini dijelaskan dalam undang-undang bahwa hakim tidak boleh menolak perkara
yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diputus, dengan alasan bahwa hukum
yang ada tidak ada atau kurang jelas. Sementara fungsi hakim adalah menegakkan
kebenaran sesungguhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak
tanpa melebihi atau menguranginya terutama yang berkaitan dengan perkara
perdata, sedangkan dalam perkara pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara
mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, melainkan
dari itu harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa[14]. Artinya,
hakim mengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas. Dan tugas hakim
adalah melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawabnya untuk memberikan
kepastian hukum semua perkara yang masuk baik perkara tersebut telah di atur
dalam Undang-undang maupun yang tidak terdapat ketentuannya. Dengan demikian,
terlihat dalam menjalankan tanggung jawabnya hakim harus bersifat obyektif,
karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk undang-undang untuk memeriksa dan
mengadili perkara, dengan penilaian yang obyektif pula karena harus berdiri di
atas kedua belah pihak yang berperkara dan tidak boleh memihak salah satu
pihak.
2.4
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
1. Pengertian
Etika Islam
Pemahaman terhadap eksistensi kode etik
profesi hakim dalam wacana pemikiran hukum Islam adalah sistem etika Islam yang
akan menjadi landasan berfikir untuk melihat nilai-nilai yang ada dalam kode
etik profesi hakim. Etika dalam Islam disebut dengan akhlak. Akhlak berasal
dari bahasa Arab yang artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan
atau dalam pengertian sehari-hari disebut budi pekerti, kesusilaan atau sopan
santun. Dengan demikian, ahklak merupakan gambaran bentuk lahir manusia.[15]
Ahmad Amin memberikan definisi akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti
baik dan buruk, menerangkan apa yang harusnya dilakukan oleh sebagian manusia
kepada manusia lainnya, menyatakan apa yang harus dituju oleh manusia dalam hal
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan apa yang harus diperbuat.[16]
Sedangkan menurut A. Mustofa akhlak dalam Islam (akhlak Islam) adalah merupakan
sistem moral atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolak dari
akidah yang diwahyukan Allah pada Nabi atau Rasul-Nya yang kemudian disampaikan
pada umatnya. Akidah tersebut diwujudkan menjadi tabiat atau sifat seseorang,
yakni telah biasanya dalam jiwa seseorang yang benar-benar telah melekat
sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa
dipikirkan. Perbuatan tersebut terkadang berbentuk baik dan terkadang juga
berbentuk buruk. Dengan demikian pada tahap pertama merupakan hasil pemikiran
atau pertimbangan tetapi lama-lama menjadi melekat dan tanpa pertimbangan dan
pemikiran. Dan dapat dikatakan akhlak merupakan manifestasi iman, Islam dan
ihsan yang merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada
diri sendiri sendiri sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan
tidak tergantung pada pertimbangan interes tertentu.
Majid Fakhry menyebutkan etika atau
akhlak adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan menjadi dasar perbuatan
dan keputusan yang benar serta prinsipprinsip yang menentukan klaim bahwa
perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.
Lebih ditegaskan lagi etika adalah merupakan hal keyakinan religius tertentu
(i’tiqâdât) untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka.[17]
Berdasarkan pengertian di atas etika dan akhlak kalau dipahami adalah merupakan
dua kata yang mempunyai kesamaan dan juga perbedaan, persamaanya adalah pada
obyek yakni sama-sama membahas tentang baik dan buruk tingkah laku manusia
sedangkan perbedaanya adalah pada parameternya yaitu etika terhadap akal, dan
akhlak terhadap agama. Dengan demikian etika mempunyai peranan penting karena
lebih menekan kan pada bentuk bathiniyah yang berkaitan dengan pelaksanaan
hukum (syari’ah) yang berbentuk batiniyah. Lebih jauh lagi merupakan aspek
penting bagi penegak hukum, khususnya profesi hakim. Karena moralitas atau etika
sebagai dorongan terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan
profesinya.
2. Landasan
Etika Profesi dalam Islam
Persoalan etika dalam Islam sudah
banyak dibicarakan dan termuat dalam Alquran dan Hadis. Etika Islam adalah
merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada tuhan, dan sudah
tentu berdasarkan kepada agama, dengan demikian Alquran dan Hadis adalah
merupakan sumber utama yang dijadikan landasan dalam menentukan batasan-batasan
dalam tindakan sehari-hari bagi manusia, ada yang menerangkan tentang baik dan
buruk, boleh dan dilarang, maka etika profesi hakim di sini merupakan bagian
dari perbuatan yang menjadi fokus bahasan. Namun Alquran yang menerangkan
tentang kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim tidak menjelaskan
teori-teori etika dalam arti yang khusus sekalipun menjelaskan konsep etika
Islam, tetapi hanya membentuk dasar etika Islam, bukan teori-teori etika dalam
bentuk baku.[18]
Tetapi masalah yang paling utama adalah bagaimana mengeluarkan ethik Islam yang
bersumber dari Alquran yang melibatkan seluruh moral, keagamaan, dan sosial
masyarakat muslim guna menjawab semua permasalahan yang timbul baik dari dalam
maupun dari luar. Berdasarkan kedua sumber tersebut yang pada umumnya memiliki
sifat yang umum, karena itu perlu dilakukan upaya-upaya dan kualifikasi agar
dipahami sehingga perlu melalui pen jelasan dan penafsiran. Permasalahan
kehidupan manusia yang semakin kompleks dengan dinamika masyarakat yang semakin
berkembang. Maka akan dijumpai pelbagai macam persoalan-persoalan terutama
masalah moralitas masyarakat muslim, pada masa Nabi Muhammad yang terbentuk
setelah turunnya wahyu Alquran, sehingga masih bisa dikembalikan kepada sumber
Alquran dan penjelasan dari Nabi sendiri. Seiring dengan perkembangan masyarakat
dan keagamaan ketika itu yang dihadapkan dengan masalah budaya, adat dan pola
pikir masyarakat yang berkembang saat itu, maka keadaan moralitas menjadi
sangat penting dan komplek. Menurut Madjid Fakhri sistem etika Islam dapat
dikelompokkan menjadi empat tipe. Pertama, moral skripturalis. Kedua, etika
teleologis. Ketiga, teori-teori etika filsafat. Keempat, etika religius[19].
Dari keempat tipologi etika Islam tersebut, etika religius akan menjadi pilihan
sebagai landasan teori yaitu nilai-nilai etika yang didasarkan pada konsep
Alquran tentang nilai-nilai etika hukum dalam Islam. Dengan demikian penyusun
hanya akan menjelaskan salah satu macam etika yaitu etika religius yang menjadi
landasan. Etika religius adalah etika yang dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi
Alquran tentang manusia dan kedudukannya di muka bumi, dan cenderung melepaskan
dari kepelikan dialektika dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit
moralitas Islam secara utuh. Bahan-bahan etika religius adalah pandangan-pandangan
dunia Alquran, konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat dan dalam
beberapa hal sufisme. Karena itu sistem etika religius muncul dalam pelbagai
bentuk yang kompleks sekaligus memiliki karakteristik yang paling Islami.
Diantara eksponennya adalah Hasan al-Basri, al-Mawardi, al-Raghib al-Isfahani,
alGhazali, dan Fakhruddin ar-Razi. al-Ghazali yang sistem etikanya men cakup
moralitas filosofis, teologis, dan sufi, adalah contoh yang paling
representatif dari etika religius.30 Sementara kajian epistemologi terhadap
nilai-nilai suatu perbuatan, oleh F. Huorani dikelompokkan menjadi empat
aliran, yaitu: Pertama, Obyektifisme; “right” memiliki arti yang obyektif,
yaitu suatu perbuatan itu disebut benar apabila terdapat kualitas benar pada
perbuatan itu. Aliran ini biasanya dimiliki oleh aliran mu’tazilah dan filsuf
muslim. Kedua, Subyektivism; “right” tidak memiliki arti yang obyektif, tetapi
sesuai dengan kehendak dan perintah dan ketetapan Allah swt. Tipe ini disebut
secara spesifik oleh George F. Huorani dengan theistic subjectivisme atau
divine subjectivisme. Terma ini disepadankan oleh George F. Huorani dengan
sebutan ethical voluntarism. Ketiga, Rationalism; ‘right” itu dapat diketahui
dengan akal semata atau akal bebas. Artinya, akal manusia dinilai mampu membuat
keputusan etika yang benar berdasarkan data pengalaman tanpa menunjuk kepada
wahyu. Aliran ini dengan pendayaannya terhadap akal disepadankan oleh George F.
Huorani dengan kelompok intuitionist. Aliran ini dibagi 2 yaitu: pertama,
“right” selalu dapat diketahui oleh akal secara bebas. Kedua, “right” dalam
beberapa kasus dapat diketahui oleh akal semata, pada kasus lain diketahui oleh
wahyu, sunnah, ijma›, dan qiyas, atau dapat diketahui oleh akal dan wahyu dan
seterusnya. Aliran ini secara spesifik disebut dengan partial rationalism.
Keempat,Traditionalism; “right” tidak akan pernah dapat diketahui dengan akal
semata tetapi hanya dapat diketahui dengan wahyu dan sumber-sumber lain yang
merujuk kepada wahyu. Menurut George F. Huorani, aliran ini bukan tidak sama
sekali tidak memanfaatkan kemampuan akal, tetapi kemampuan akal dipergunakan
pada saat menafsirkan Alquran dan sunnah, menetapkan ijma› atau menarik qiyas.
Aliran seperti ini biasanya dianut oleh para fuqoha dan mutakallimun.[20]
Kata profesi dalam Alquran disebutkan dengan kata-kata ‹aml (i i) yang disebut
berulang-ulang, belum lagi dengan penyebutan yang lain atau kiasan lain. Namun
ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa Islam tidak progresif terhadap budaya
kerja. Hal ini karena disebabkan didalam Islam adanya takdir, yang sering
dipahami secara negatif atas pemahaman bahwa dalam Islam tidak terlalu penting.
Ini bias dari teologi jabariyah (aliran aqidah yang berpendapat bahwa manusia
tidak punya faktor atau penentu). Sehingga faktor adanya kemiskinan akibat dari
faktor dari teologis ini.
3. Sistem
Etika Islam dalam Penegakan Hukum
Sistem etika Islam yang berkembang
terlebih dahulu dalam pemahaman agama, sehingga hubungan antara agama dengan
etika mempunyai relasi yang erat. Keduanya memang tidak dapat dipisahkan.
Keterbatasan kemampuan manusia untuk mamahami ajaran agama menyebabkan perlunya
manusia mencari jalan dan berfikir yang tepat untuk membantu manusia dalam
menafsirkan agama, karena tidak semua orang sepakat dalam suatu pendapat.
Begitu juga terhadap peristiwa-peristiwa sekarang yang dulunya masih belum
menjadi persoalan agama dapat dipecahkan melalui etika dengan memperhatikan
ketentuan agama. Agama biasanya dipahami semata-mata membicarakan urusan
spiritual, karena nya ada ketegangan antara agama dan hukum. Hukum utuk
memenuhi ke butuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat untuk
mengontrolnya dan tidak membiarkannya menyimpang dari kaedahnya, yaitu
normanorma yang ditentukan oleh agama.[21]
Agama di sini menekankan moralitas, perbedaan antara yang benar dan salah, baik
dan buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri kepada kesejahteraan
material dan kurang mem per hatikan etika. Terlihat dengan adanya perbedaan
antara fungsi antara etika dengan ilmu hukum yaitu etika dalam agama
memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang segala perbuatan yang
dilarang dan madarat sedangkan ilmu hukum tidak karena banyak perbuatan yang
baik dan berguna yang tidak diperintahkan oleh ilmu hukum. Dari fungsi di atas
menjadikan etika atau akhlak mendalami gerak jiwa manusia secara batin walaupun
tidak menimbulkan perbuatan lahir sedangkan ilmu hukum melihat segala perbuatan
yang berakibat kepada lahir. Hukum Islam sebenarnya merupakan hukum moral
“farexcellence”, sedangkan menurut Khan bahwa “hukum moral adalah hukum dalam
arti sebenarnya.Tidak ada pemisahan total hukum dari moralitas”. Oleh karena
itu hukum yang dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah hukum.[22] Dengan
demikian, etika sangat bermanfaat bagi seorang walaupun pada dasarnya manusia
itu sudah bermoral. Manfaat etika itu antara lain agar manusia dapat mengadakan
refleksi kritis dalam menghadapi masyarakat yang semakin pluralistik dimana
kesatuan normatif sudah tidak ada lagi. Perubahanperubahan masyarakat karena
arus modernisasi mengakibatkan goncangan nilai budaya yang bisa saja berubah
dan mana nilai yang tetap dan tidak mungkin berubah. Etika dapat juga membuat
kita sanggup menghadapi ideologi yang menawarkan darinya sebagai penyelamat
dengan memecahkanya secara kritis dan obyektif. Etika Islam sebagai landasan
yang harus dijunjung oleh seorang profesi dalam hal ini seorang hakim (qâdi)
dalam menjalankan profesinya adalah memberi keputusan (judgement) bukan
menghadiahkan keadilan dan keputusan yang diberikan harus berdasarkan hukum.
Hal ini dalam konsep Islam, profesi hakim harus benarbenar menegakkan etika, dan
bagaimana etika yang harus ditegakkan dalam menjalani profesi dalam Islam, atau
yang disebut etika profesi dalam Islam. Konsep profesi dalam Islam adalah
pertama, meletakkan kerja sebagai sebuah amal shaleh yang dilakukan dalam
kontek dan tahapan yang runtut atas iman, ilmu, dan amal. Di sini kerja
terorientasi kepada dua pandangan yakni aktifitas yang bernilai ibadah dan
sebuah aktifitas untuk memperoleh keuntungan financial. Kedua, menunuaikan
kerja sebagai suatu penunaian amanah yang harus dilakukan secara professional.
Ketiga, melakukan kerja dengan wawasan masa depan dan wawasan ukhrawi artinya
dalam melakukan kerja, seseorang harus mengingat kepentingan akan hari
depannya. [23]
Berdasarkan uraian di atas, etika profesi dalam Islam adalah merupakan aktivitas
yang bukan hanya bersifat duniawi, melainkan juga sangat ukhrawi. Artinya Islam
melibatkan aspek transendental dalam beribadah, sehingga bekerja tidak hanya
bisa dilihat sebagai prilaku ekonomi tetapi juga ibadah, sehingga profesi hakim
yang dijalani adalah suatu profesi yang profesi yang harus dipertanggung
jawabkan di akhirat. Dalam hadis di sebutkan:
القضاة ثلاثة: اثنان في
النار وواحد في الجنة رجل عرف الحق فقضى به فهو في الجنة ورجل عرف الحق فلم يقض به
وجار في الحكم فهو في النار ورجل لم يعرف الحق فقضي للناس على جهل فهو في النار
Hadis di atas menjelaskan pembagian
hakim, sehingga apabila haim tidak men jalan kan amanahnya sesuai dengan sistem
etika profesi dalam Islam maka termasuk salah satu golongan hakim yang celaka,
karena mengimgkari tujuan dari etika profesi hakim yang ada, dan tidak bisa
mempertanggungjawabkan akan tugasnya diakhirat nanti. Hal ini diungkapkan oleh
al-Ghazali, bahwa tujuan etika dalam Islam berpangkal dari pengabdian
sepenuhnya pada Tuhan. Pemikiran etika al-Ghazali sangat menekankan pada
keselamatan individu baik di dunia sekarang maupun di akhirat nanti. Adanya
kewajiban bagi manusia pada hakekatnya dimaksudkan untuk keselamatan individu.[24] Prinsip-prinsip
Peradilan dalam Nilai Etika Islam Setelah dijelaskan landasan dan hubungan
etika agama dalam penegakkan hukum, selanjutnya akan dipaparkan suatu konsep
dari suatu paradigma etika profesi yang dikontruksi dari nilai-nilai atau
prinsip-prinsip etika profesi hakim dari lintasan sejarah secara normatif.
Seperti dikatakan A. Hanafi, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep
tauhid. Oleh karena itu bagi seorang hakim dalam melaksanakan profesinya harus
taat pada prinsip-prinsip peradilan yang telah yang telah digariskan oleh
Alquran, sebagai pertimbangan dalam menjalani profesinya, karena ketaatan
terhadap prinsip-prinsip akan memberikan jaminan terhadap terlaksananya tujuan
hukum. Paradigma etika profesi dalam perspektif Alquran tentang profesi yang
dilandasi aksioma-aksioma yang menjadi bahan analisis untuk menkaji kode etik
profesi hakim. Aksioma nilai tersebut ialah:
Pertama, Keadilan
Keadilan atau keseimbangan
(equiblirium) menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan
dengan keseluruhan hubungan antara alam semesta. Sifat keadilan atau
keseimbangan bukan hanya karakteristik alami,melainkan merupakan karakteristik
dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.[25]
Kata keadilan dalam Alquran menggunakan kata ‘adl dan qist. ‘adl mengandung
pengertian yang identik dengan samiyyah berarti penyamarataan (equalizing), dan
kesamaan (leveling). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan zulm dan
jaur (kejahatan dan penindasan). Alquran memiliki banyak keterangan tentang
dalil keadilan yang meliputi perintah penegakkan keadilan baik melalui
perkataan, tindakan, sikap; baik hati ataupun pikiran, disamping perintah
penegakkan keadilan dalam kode etik yang mempunyai unsur nilai, obyek dan
tujuan dari keadilan sendiri. Keadilan yang ditunjukkan hukum Islam adalah
keadilan yang mutlak dan sempurna bukan keadilan yang relatif dan parsial. Maka
keadilan hukum Islam adalah mencari motif keadilan yang paling dalam, misalnya,
perbuatan itu ditentukan oleh niat dan kita berbuat seolah-olah di hadapan
Allah. Dalam persfektif Islam dijelaskan keadilan sebagai prinsip yang
menunjukan kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan dan keterusterangan yang
merupakan nilai-nilai moral yang ditekankan dalam Alquran. [26]Karena
hukum Islam sendiri mempunyai standar keadilan mutlak karena dilandaskan pada
prinsip-prinsip hukum yang fundamental, sehingga keadilan dalam hukum Islam
merupakan perpaduan yang menyenangkan antara hukum dan moralitas. Hukum Islam
tidak menghancurkan kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan
masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri dan karenanya juga melindungi
kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya.
Individu diperbolehkan me ngembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak
mengganggu kepentingan masyarakat, karena manusia hidup berada ditengah
perjuangan dalam diri sendiri dan orang lain dalam menegakkan keadilan. Ini
mengakhiri perselisihan dan memenuhi tuntutan keadilan karena itu, berlaku adil
berarti hidup menurut prinsip-prinsip Islam.
Kedua,
Kebenaran Kebenaran selain mengandung makna
kebenaran lawan kesalahan, mengandung juga unsur kebajikan dan kejujuran. Nilai
kebenaran adalah merupakan nilai yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam
Alquran aksioma kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat
ditegaskan atas keharusan memenuhi perjanjian dalam melaksanakan profesi. Dalam
kontek etika profesi hakim yang harus di lakukan adalah dalam hal sikap dan
prilaku yang benar yang meliputi dari proses penerimaan perkara, pemeriksaan
perkara serta menggali nilai-nilai yang ada atau hukum-hukum yang ada untuk
menyelesaikan perkara yang masuk sampai kepada pemutusan perkara yang benar-benar
sesuai hukum yang berlaku. Kebajikan adalah sikap ihsan, yang merupakan
tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang lain. Dalam pandangan slam sikap
ini sangat dianjurkan, sedangkan kejujuran dipandang sebagai suatu nilai yang
paling unggul dan harus miliki oleh seluruh masyarakat karena menjadi corak
nilai manusia yang berakar.[27]
Dalam Alquran sendiri bukan memperlihatkan tujuan dari kebenaran tetapi
memperlihatkan proses. Alquran menekankan adanya kebenaran suatu profesi yang
dilandasi oleh kebaikan dan kejujuran. Alquran menjelaskan:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Pengejawantahan aksioma kebenaran
dengan dua makna kebajikan dan kejujuran secara jelas telah di teladankan oleh
Nabi Muhammad SAW yang juga merupakan seorang yang seiring memutuskan perkara
dengan bijaksana. Dalam menjalankan profesinya nabi tidak pernah sekalipun
melakukan kebohongan atau berpihak kepada salah satu yang berperkara, namun
sebaliknya menganjurkan agar melakukan profesi dengan kebenaran dan kejujuran.
Dalam Alquran:
يُؤْمِنُوْنَ
بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ
Dengan aksioma-aksioma kebenaran ini
maka etika profesi hakim dalam Islam sangat menjaga dan berlaku preventif
terhadap kemungkinan adanya penyalahgunaan profesi hakim.
Ketiga, Kehendak Bebas
Manusia sebagai khalifah dimuka bumi
sampai batas-batas tertentu mempunyai kehendak bebas atau kebebasan untuk
mengarahkan kehidupannya kepada tuju an pencapaian kesucian diri. Manusia di
anugerahi kehendak bebas atau kebebasan (free will) untuk membimbing
kehidupannya sebagai khalifah[28].
Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini etika profesi dalam Islam mempunyai
kehendak bebas dalam menjalani profesinya baik dari perjanjian yang dibuatnya,
apakah akan ditepati atau mengingkarinya. Seorang muslim yang percaya terhadap
Tuhannya maka ia akan menepati janji atau sumpah dalam melaksanakan profesinya.
Dalam Alquran disebutkan:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ
Ayat di atas menjelaskan bahwa
kebebasan manusia dalam membuat janji itu harus dipenuhi baik yang dibuat
sendiri ataupun dengan masyarakat. Dalam masalah etika profesi yaitu dengan
adanya kode etik profesi atau sumpah jabatannya yang harus dilaksanakan. Dengan
demikian manusia memiliki kebebasan karena kebebasan adalah kemampuan manusia
untuk menentukan dirinya sendiri yang disebut kebebasan eksistensial dari unsur
rohani manusia (penguasaan manusia terhadap batinya). Dan kebebasan dari
unsur-unsur yang diakibatkan dari orang lain adalah kebebasan sosial. Pada satu
sisi manusia berada dalam keterpaksaan dan tidak mempunyai kebebasan kehendak
yang merdeka bahkan kepastian yang menjalankan menurut apa yang digambarkan.
Karena kebebasan adalah merupakan hakikat kemanusiaan, dan kebebasan adalah
kebebasan yang ada. Sehingga Herbet Spencer mengatakan bahwa nilai tertinggi
yang ia letakkan kepada teori keadilan bukanlah kesamaan tetapi kebebasan
artinya setiap orang bebas asalkan tidak mengganggu orang lain.
Keempat, Pertanggungjawaban
Kebebasan apapun yang terjadi tanpa
batasan, pasti menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk
memenuhi keadilan, kebenaran, dan kehendak bebas maka perlu adanya
pertanggungjawaban dalam tindakannya. Secara logis aksioma terakhir ini sangat
berkaitan erat dengan aksioma kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai
apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang
dilakukannya.
Tanggung jawab merupakan suatu
prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia. Bahkan merupakan
kekuatan dinamis individu untuk mempertahankan kualitas kesetimbangan dalam
masyarakat[29].
Karena manusia yang hidup sebagai mahkluk sosial, tidak bisa bebas, dan semua
tindakannya harus dipertanggungjawabkan. Dalam Alquran disebutkan:
أَيَحْسَبُ ٱلْإِنسَٰنُ أَن يُتْرَكَ سُدًى
Secara teologis prinsip
pertanggungjawaban berhubungan dengan tiga paradigma qur›anik.56 Pertama, Allah
memberikan karunia kepada manusia (baik melalui Rasul maupun lewat kekuatan
akal) yang memungkinkannya mengenali nilai-nilai moral. Dalam jiwa manusia
telah ditanamkan pengertian tentang makna baik dan buruk.
Tidak seperti pada kajian-kajian
tafsir tradisional yang pada umumnya cenderung membatasi pada sisi
pertanggungjawaban yang bersifat ukhrawi dan individual, pada konteks kekinian
perlu ditelaah lebih lanjut adalah sisi pertanggungjawaban yang bersifat kolektif
duniawi. Alquran hanya menyampaikan pesan-pesan kepada umat manusia sebagai
individu-individu mandiri, tetapi juga memberikan bimbingan tentang kehidupan
kolektif. Dalam Islam ada pokokpokok ajaran tentang etika pergaulan antar
manusia, dan dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.
Mengabaikan ajaran-ajaran moral tersebut akan berakibat tidak hanya penderitaan
batin dan siksaan (akhirat) secara individual,
tetapi secara kolektif (generasi) mereka juga akan menerima hukuman, sekarang
di dunia ini juga.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa kode etik profesi hakim mengandung nilai-nilai moral
yang menjadi landasan kepribadian hakim secara professional yaitu: pertama,
kebebasan artinya sebagai manusia mempunyai kebebasan baik kemandirian moral
maupun keberanian moral yang dibatasi norma-norma yang berlaku. Kedua,
keadilan, yaitu memperlakukan sama terhadap manusia dengan memberikan apa yang
menjadi haknya. Ketiga, kejujuran yaitu dalam penegakan hukum harus dilandasi
sifat kejujuran dalam hati nurani dan kebenaran akal (ratio) dari mulai
pemeriksaan perkara, pencarian hukum sampai pada pemutusan perkara secara patut
(equity) dengan melihat situasi, apa yang seharusnya diperbuat berdasarkan
undangundang yang mengandung keadilan dan kebenaran di masyarakat. Etika
profesi hakim dan hukum adalah merupakan satu kesatuan yang secara inheren
terdapat nilai-nilai etika Islam yang landasannya merupakan pemahaman dari
Alquran, sehingga pada dasarnya Kode etik profesi hakim sejalan dengan
nilai-nilai dalam sistem etika Islam. Etika hukum Islam dibangun di atas empat
nilai dasar yaitu pertama, kebenaran yaitu adanya konsep kebenaran menjadikan
manusia percaya untuk berbuat baik karena taat akan hubungan makhluk dan
khaliq. Kedua, keadilan yaitu adanya penyemarataan (equalizing) dan kesamaan
(leveling) hak dalam bidang hukum yang dibangun dengan konsep keadilan mutlak
dan sempurna secara transendental antara hukum dan moralitas. Ketiga, kehendak
bebas yaitu manusia walaupun dibatasai oleh norma-norma yang ada tetapi
mempunyai kehendak bebas/kebebasan (free will). Keempat, pertanggung jawaban
yaitu sebagai tuntutan dari kehendak bebas yaitu adanya pertangungjawaban
sebagai batasan dari apa yang diperbuat manusia dan harus
dipertanggungjawabkan.
Muhammad, dkk, Visi Alquran tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2002)
Abd. A’lâ, Melampaui Dialog Agama, Qamaruddin SF (ed.), (Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2002)
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Islam, ( Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993 )
Muhammad, dkk, Visi Alquran tentang Etika dan Bisnis.
R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Alquran,Tesis IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Majid Fakhry, Etika Dalam Islam,h. xv.
Madjid Fakhry, Etika dalam Islam, h. xxi-xxiii
Amril M., Studi Pemikiran Filsafat Moral Raghîb alIsfahâni (w.+ 1108 M),
Disertasi IAIN Sunan Kalijaga, Muhammad Muslehuddin, Yudian Wahyudi Amin,
(pent.), Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan, cet.
ke-3, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
Muhammad, dkk, Visi Alquran tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2002)
Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ fî al-Islâm.
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,
(Bandung: Rosda Karya , 1997).
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16
Ayat (1) dan lihat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama
Pasal 56 ayat (1).
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1992).
Salihun A Nasir, Tinjauan Akhlak, cet. ke-1, (Surabaya: al-Ikhlas, 1991).
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Farid Ma’ruf (pent.), cet. ke-8,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
M. Abdul Quasem, Etika al-Ghazali Etika Majemuk di dalam Islam, (Bandung:
Pustaka, 1988).
Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ fî al-Islâm, (Ttp.: Tnp., t.t.)
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putera, 1997).
Imam Mawardi, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press,Tahun 2000.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994.
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.
[1] Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ
fî al-Islâm, (Ttp.: Tnp., t.t.), h.11.
[2] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putera, 1997), h. 39.
[3] Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ
fî al-Islâm, h. 11.
[4] Imam Mawardi, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press,Tahun 2000), h. 142-143.
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994),
h. 487.
[6] M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h. 35-43.
[7] Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ fî al-Islâm, h. 29.
[8] Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ fî al-Islâm, h. 30-32
[9] Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,
(Bandung: Rosda Karya , 1997), h. 104.
[10] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16
Ayat (1) dan lihat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama
Pasal 56 ayat (1)
[11] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28
Ayat (1)
[12] H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 37.
[13] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1992), h. 37.
[14] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 38.
[15] Salihun A Nasir, Tinjauan Akhlak, cet. ke-1, (Surabaya: al-Ikhlas,
1991), h.14.
[16] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Farid Ma’ruf (pent.), cet. ke-8,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 3.
[17] M. Abdul Quasem, Etika al-Ghazali Etika Majemuk di dalam Islam,
(Bandung: Pustaka, 1988), h. 10
[18] Majid Fakhry, Etika Dalam Islam,h. xv.
[19] Madjid Fakhry, Etika dalam Islam, h. xxi-xxiii
[20] Amril M., Studi Pemikiran Filsafat Moral Raghîb alIsfahâni (w.+ 1108
M), Disertasi IAIN Sunan Kalijaga, 2001, h. 25-27.
[21] Muhammad Muslehuddin, Yudian Wahyudi Amin, (pent.), Filsafat Hukum
Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan, cet. ke-3, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1997). h. 70
[22] Ibid.
[23] Sidiktono, dkk, Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim (ed.), Ibadah dan
Akhlak dalam Islam, h. 138.
[24] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, Hamzah (pent.), (Bandung:
Mizan, 2002), h. 202-205
[25] Muhammad, dkk, Visi Alquran tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), h.12.
[26] Abd. A’lâ, Melampaui Dialog Agama, Qamaruddin SF (ed.), (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2002), h. 159.
[27] Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Islam, ( Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993 ), h. 148.
[28] Muhammad, dkk, Visi Alquran tentang Etika dan Bisnis, h.15
[29] R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Alquran,Tesis IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2001, h. 125.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar