PERAN
KOMISI YUDISIAL DALAM PENGAWASAN DAN PELAKSANAAN KODE ETIK PENDOMAN PERILAKU
HAKIM
1Agil Fatkhurohmah, 2Sarta, 3Rizki
Winunggal
Hukum Keluarga Islam, Syariah, Universitas
Islam Bandung
Abstrak
Etika profesi bertujuan
agar setiap orang tetap berada dalam nilai-nilai profesional, bertanggung
jawab, dan menjunjung tinggi profesi yang dipegangnya. Seorang pekerja tidak
hanya dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas, tapi juga harus menjunjung
etika profesi dalam segala aktivitasnya. Etika yang dimaksud adalah nilai-nilai
dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok
masyarakat dalam mengatur perilakunya. Etika profesi befungsi sebagai pedoman
bagi semua anggota profesi mengenai prinsip profesionalitas yang ditetapkan, sebagai
alat kontrol sosial bagi masyarakat umum terhadap profesi tertentu, dan sebagai
sarana untuk mencegah campur tangan dari pihak lain di luar organisasi, terkait
hubungan etika dalam keanggotaan suatu profesi. Etika profesi hukum (kode etik
profesi) merupakan bagian yang terintegral dalam mengatur perilaku penegak
hukum sebagai wujud penegakan hukum yang baik sekaligus berkeadilan. Penegakan
hukum menuntut sikap integritas moral, sikap ini menjadi modal bagi
penyelenggara profesi hukum dalam menjalankan tugas profesinya.
Kata Kunci : Hukum, Etika, Profesi
Abstrac
Professional ethics aims to ensure that everyone remains in
professional values, is responsible, and upholds the profession he holds. A
worker is not only required to complete tasks, but also must uphold
professional ethics in all his activities. The ethics in question are the
values and moral norms that become the guideline for a person or group of
people in regulating their behavior. Professional ethics serves as a guideline
for all members of the profession regarding the established principles of
professionalism, as a means of social control for the general public towards
certain professions, and as a means to prevent interference from other parties
outside the organization, related to ethical relationships in membership of a
profession. The ethics of the legal profession (professional code of ethics) is
an integral part in regulating the behavior of law enforcement as a form of law
enforcement that is both good and fair. Law enforcement requires an attitude of
moral integrity, this attitude becomes the capital for the organizers of the
legal profession in carrying out their professional duties.
Key Words: Law, Ethics, Profession
PENDAHULUAN
Transformasi
demokrasi di berbagai negara pada umumnya ditandai dengan terjadinya perubahan
konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas bagi pemerintahan
terkhusus bagi kekuasaan kehakiman (judicial power). Reformasi di Indonesia
juga menghasilkan amndemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945)[1] yang memberikan jaminan
konstitusional terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman.Amandemen UUD 1945
telah menciptakan sistem penyelenggaraan kekuasan kehakiman yang akuntabel
dengan berdirinya lembaga baru bernama Komisi Yudisial. Komisi Yudisial ini
menjadi bagian dari upaya memperbaiki instansi peradilan yang senantiasa diharapkan
untuk menjaga kemandirian dan akuntabilitasnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan.
Latar
belakang terbuntuknya Komisi Yudisial merupakan reaksi keras terhadap kegagalan
sistem peradilan yang berkeadilan. Peradilan di Indonesia diwarnai maraknya mafia
hukum, mafia peradilan. Isu tersebut berkembang ditambah lagi dengan kenyataan
banyaknya perkara ditingkat Kasasi Mahakmah Agung (MA) menumpuk dan menjadi
sorotan masyarakat yang tidak puas dengan layanan system peradilan di tanah air.
Praktik-praktik tersebut semakin mangganjal ketika pengawasan internal tidak
mampu mengendalikanya secara maksimal.[2]
Mardjono Reksodiputro menyatakan
bahwa wewenang Komisi Yudisial (KY) dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim di Indonesia yang diberikan
melalui amandeman UUD 1945 dan kemudian dijabarkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2004
adalah jawaban (response) masyarakat untuk memperbaiki system peradilan
Indonesia dari berbagai “masalah intern” yang dihadapi Mahkamah Agung (setelah
berlakunya sistem satu atap).[3]
Pengadilan sebagai pilar utama dalam
penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa. Hukum
dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi
prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara.
Hakim sebagai aktor utama atau figur
sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan
nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan
profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak.
Oleh sebab itu, semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus
dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa
pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang. Sebagaimana diatur dalam lafal
sumpah seorang hakim dimana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan
hakim (equality be for the law).
Wewenang dan tugas hakim yang sangat
besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi. Sehingga putusan pengadilan yang
diucapkan dengan irah-irah ”Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
menunjukkan kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara
vertikal dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu hakim dalam mengambil
keputusan harus benar-benar telah mempertimbangkan semua fakta yang ada dan
didukung oleh alat bukti yang kuat, sehingga putusannya nanti dapat memuaskan
rasa keadilan dalam masyarakat.[4]
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim. Komisi Yudisial dapat menganalisis
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar
rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim. Tetapi Pelaksanaan tugas tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan menetapkan perkara. Ketentuan
mengenai pengawasan eksternal hakim diatur dalam undang-undang.
Menurut
Sri Soemantri dalam pertimbangan tersebut dinyatakan bahwa Indonesia adalah
negara hukum dan dalam negara hukum dijamin kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Anak kalimat yang terdapat dalam pertimbangan tersebut berasal dari pasal 24
ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dan untuk mendukung keabsahan dalam
melaksanakan tugasnya, dibentuk dan diberlakukanlah UU Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial.Yang mana komisi ini merupakan lembaga Negara yang bersifat
mandiri dalam melaksanakan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh
kekuasaan lainnya termasuk kewenangan yang telah dicabut oleh Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan Nomor 005/PUUIV/2006. Hal ini merupakan sebuah
kemajuan menyangkut penguatan kewenangan Komisi Yudisial.
Tujuan
utama dari fungsi pengawasan eksternal KY terhadap hakim adalah agar seluruh
hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman senantiasa didasarkan dan sesuai dengan pengaturan perundang-undangan,
kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat dengan berpedoman kepada Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).21 Tujuan pengawasan tersebut diturunkan kedalam
sejumlah wewenang mulai dari UU No. 22 Tahun 2004, Pasal 42 UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 20 UU No. 18 Tahun 2011.[5]
Kewenangan
KY dalam menjaga perilaku hakim demi terwujudnya peradilan yang bersih sesuai
amat reformasi menjadi pertanyaan oleh masyarakat yang selama ini menjadi salah
satu pengawas penegakan hokum, mulai dari pengaduan yang diajukan sampai tidak
adanya kejelasan atau tindak lanjut dari apa yang dilaporkan masyarakat,
sehingga penulis ingin menjadikan artikel ini sebagai referensi bagi mereka
yang selama ini mengeluh terhadap kinerja KY sebagai lembaga pengawas.
TUJUAN
PENELITIAN
Untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis,
dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Komisi Yudisial.
METODE
PENELITIAN
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan pendekatan
pustaka. Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan secara analisis kuantitatif,
dalam pelaksanaannya penelitian ini fokus pada penggunaan angka (numerik).
Begitupun dalam teknik pengambilan data penelitiannya dilakukan dengan acak dan
pengumpulan data pun dilakukan dengan cara memanfaatkan instrumen penelitian
yang di pakai. Analisis pendekatan kuantitatif ini memiliki subjek penelitian
yang biasa disebut responden atau tidak dengan cara penelitian melalui
wawancara.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Terbentuknya Komisi Yudisial
Transisi
demokrasi diberbagai Negara umumnya ditandai dengan terjadinya perubahan
konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas bagi kekuasaan
kahakiman (judicial power). Selama
tiga puluh dua tahun rezim otoritarian memimpin republic ini yang pada tanggal
21 mei 1998 runtuh akibat aksi yang dilancarkan mahasiswa yang menuntut sebuah
reformasi dari segala bidang, yang pertama penegakan hokum, dan yang kedua
menstabilkan ekonomi bangsa. Reformasi di Indonesia juga menghasilkan Amandemen
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. [6]Yang
memberikan jaminan konstitusional terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman.
Gagasan
tentang perlunya lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam
ranah kekuasaan kehakiman sebenarnya bukanlah gaagsan yang sama sekali baru.
Sejarah mencatat, dalam pembahan RUU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman Tahun 1968 misalnya, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi
nama Majelis pertimbangna Penelitian hakim (MPPH).
Majelis
ini diharapkan berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan
terakhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan
pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hokuman jabatan
para hakim yang diajukn, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri
Kehakiman. Namun, dalam perjalanannya ide tersebut menemui kegagalan sehingga
tidak berhasil menjadi materi muatan UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Walaupun
demikian gagasan mengenaai kehadiran lembaga khusus yang mempunyai kewenangan
tertentu dalam ranah kekuasaan kehakiman dalam perjalanannya tidak pernah
dalam. Gagasan tersebut mengalami re-inkarnasi dan kali ini memperoleh
akomodasi yang cukup ketika Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman disahkan.
Kata
kunci yang sangat penting dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 adalah
perintah bahwa untuk meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan
antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui
secara terbuka dan trasparan oleh masyarakat.
Selain
itu juga dibentuk Dewan Kehormatan hakim yang berwenang mengawasi perilaku
hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim
serta menyusun kode etik bagi para hakim. Dengan demikian, kesadaran tentang
pentingnya transparan dan Dewan Kehormatan Hakim sudah mulai terbentuk yang
kemudina diikuti dengan menuangkannya ke dalam sebuah Undang-Undang.
Perihal
lain yang menjadi semacam pintu awal bagi terbentuknya gagasan dibentuklah
Komisi Yudisial di Indonesia adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi dalam Rangka Penyelamatan
dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Substansi dari TAP
MPR tersebut berisikan tentang perlunya penanggulangan krisis di bidang
hokum.Pasca reformasi, gagasan untuk menegakkan kewibawaan peradilan dengan
menetapkan hakim sebagai main actor-nya semakin mendapati momentumnya.
Melalui
Amandemen Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 disepakati membentuk Komisi
Yudisial.Maksud dasar yang menjadi semangat pembentukan Komisi Yudisial
didasarkan pada keprihatinan mendalam mengenai kondisi wajah peradilan yang
muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak.
Komisi
Yudisial karenannya dibentuk dengan dua kewenangan konstitutif, yaitu untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.[7]
Program pemberdayaan lembaga peradilan dan
penegakan hokum lainnya menjadi perhatian Undang-Undang ini dan hal ini pula
yang menjadi latar belakang terbentuknya[8]
Komisi Yudisial dari Kegiatan pokok yang dilaksanakannya antara lain:
1.
Meningkatkan
pengawasan dalam proses peradilan secara trasnparan untuk memudahkan
partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap system
manajemen dan administrasi peradilan49secara terpadu;
2.
Menyusun
system system dan rekrutmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan
terhadap proses rekrutmen dengan memegang asas kompetensi, transparan dan partisipasi
baik bagi hakim maupun aparat penegak hokum lainnya:
3.
Meningkatkan
kesejahteraan hakim dan aparat penegakan hokum lainnya seperti Jaksa, Polisi
dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) melalui meningkatkan gaji dan
tunjagan-tunjangan lainnya sampai pada tingkat pemenuhan kebetuhan hidup yang
disesuaikan dengan tugas, wewenang, dan tanggungjawab kerja yang diemban; dan
4.
Membentuk
Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi
pengawasan.50Komisi yudisial atau dewan kehormatan hakim bersifat independen
dan susunan keanggotaannya dipilih dari orang-orang yang memiliki integritas
yan terpuji.
Dengan
demikian, Komisi Yudisial di Indonesia dipola sebagai lembaga yang mempunyai
fungsi pengawasan, bertindak sebagai dewan kehormatan hakim, dan bersifat
independen.
Selanjutnya
dalam rangka mengoprasionalkan keberadaan Komisi Yudisial, dibentuklah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentangn Komisi Yudisial yang disahkan di
Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Amanat
Reformasi untuk mewujudkan peradilan yang bersih, independen, dan akuntabel,
maka Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Pasal tersebut
menegaskan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri, berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ketentuan
konstitusional tersebut selanjutnya diimplementasikan secara operasional dalam
undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.Kemudian Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
Komisi
Yudisial dibentuk sebagai konsekuensi politik hokum (legal policy) untuk
membangun system check and balancedalam struktur kekuasaan kehakiman. [9]Sesuai
fungsinya, Komisi Yudisial dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas
kekuasaan kehakiman yang independen dan diharapkan berperang penting dalam
mewujudkan demokrasi dan Negara hokum dengan modal besar sebagai lembaga konstitusi
(constitutional body).
Menurut
Jimly Asshiddiqie, Komisi Yudisial dibentuk sebagai instrument pengawasan
diluar struktur Mahkamah Agung. Struktur baru ini membuka peluang masyarakat
terlibat dalam proses pengangkatan hakim agung serta peduli dalam proses
penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena
pelanggaran terhadap etika itu. Dengan demikian pengertian independen atau
mandiri disini haruslah dipahami dalam arti bebas dari intervensi kepentingan
para hakim yang kewibawaannya sendiri perlu di jaga oleh Komisi Yudisial.[10]
B. Wewenang
Dan Tugas Komisi Yudisial
Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan
ketentuan Pasal 24B UndangUndang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 perubahan
atas UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dibentuknya
Komisi Yudisial memperbanyak institusi negara yang mandiri (state auxiliaris
institutions) dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Komisi Yudisial menyatakan:
“Komisi
Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.”
Ketentuan tersebut maka komisis Yudisial
merupakan lembaga yang mandiri (independence).Secara etimologis istilah
“mandiri‟ berarti menunjukkan kemampuan berdiri sendiri, swapraja, swasembada. [11]Tidak
ada campur tangan dari kekuasaan lain atau ketidakbergantungan satu pihak pada
pihak yang lain dalam literature juga berarti “independen” dari bahasa inggrisnya
independence
Menurut Jimli Asshiddiqie ada tiga pengertian
independensi, yaitu:
1.
Structutal Independence
Independensi
kelembagaan dimana struktur suatu organisasi yang dapat digambarkandalam bagan
yang sama sekali terpisah dari organisasi lain.
2.
Funtional Independence
Independensi yang
dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur
kelembagaan
3.
Financial Independence
Independensi yang
dilihat dari kemandiriannya menetukan sendiri anggaran yang dapat dijamin
kemandiriannya dalam menjalangkan fungsi.
Kedudukan Komisi Yudisial adalah sangat penting.
Secara structural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.Akan tetapi, secara fungsional perannya bersifat menunjang (auxiliary)
terhadap lembaga kekuasaan kehakiman.Komisi Yudisial meskipun kekuasaannya
terkait dengan kekuasaan kehakiman, tidak menjalangkan fungsi kekuasaan kehakiman.
Komis ini bukanlah lembaga penegak norma hokum (code of law), melainkan lembaga
penegak norma etik (code of etic).[12]
Walaupun Komisi Yudisial ditentukan sebagai lembaga
yang independen tidak berarti bahwa Komisi Yudisial tidak diharuskan
bertanggungjawab oleh undang-undang. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Komisi Yudisial menentukan:
1. Komisi
Yudisial bertanggung jawab kepada public melalui DPR
2. Pertanggungjawaban
kepada public sebagaiman dimaksud pada ayat
a.
dilaksanakan dengan cara:
1)
Menerbitkan laporan tahunan; dan
2)
Membuka akses informasi secara lengkap dan
akurat
3. Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a setidaknya memuat hal-hal sebagai
berikut:
a.
Laporan penggunaan anggaran
b.
Data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan;
dan
c.
Data yang berkaitan dengan fungsi rekrutmen
hakim agung.
4. Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada presiden.
5. Keuangan
Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksaan Keuangan menurut ketentuan
undang-undang.
Dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 digunakan
istilah “wewenang” untuk menunjuk fungsi yang harus dilakukan oleh Komisi
Yudisial. Penggunaan istilah “wewenang” menurut Tim Penyusun Naskah Akademis
Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung[13]
kurang tepat karena kata wewenang biasanya diartikan sebagai hak-hak yang dimiliki
seseorang atau suatu badan untuk menjalangkan tugasnya. Sementara fungsi Komisi
Yudisial berarti dalam rangka apa Komisi Yudisial dibentuk dan tugas menjunkkan
hal-hal apa yang wajib dilakukan oleh suatu lembaga guna mencapai fungsi yang
diharapkan.
Dalam
Undang-Undang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak
dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
wewenang (bevoegdheind) mengandung pengertian tugas (plichtin) dan hak
(rechten). Menurut Bagir Manan,58 wewenang mengandung makna kekuasaan (macht)
yang ada pada organ, sedangkan tugas dan hak ada pada pejabat dari organ.
Pasal
13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan bahwa
“Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a) Mengusulkan
pengangkatan hakim agung kepada DPR, dan; b) Menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”, kemudian Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2011 Pasal 13 kewenangan Komisi Yudisial bertambah seperti berikut:
“Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
4.
mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan;
5.
menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
6.
menetapkan
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
7.
menjaga
dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
”Berkaitan
dengan penulisan yang diangkat guna mengetahui peran Komisi Yudisial dalam
pengawasan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, maka penulisan ini lebih
menjelaskan kepada kewenangan Komisi Yudisial terkait pengawsannya terhadap
hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim.
Pasal
24B hasil perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa:
“Komisis Yudisial
berfungsi untuk menjaga dan menegakkan kehormata, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim”
Lebih
lanjut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
menyatakan bahwa untuk melaksanakan fungsi tersebut Komisi Yudisal melakukan
pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana bunyi pasal 20 sebagai berikut:
1. Dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan
pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim;
b.
menerima laporan dari masyarakat berkaitan
dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim:
c.
melakukan verifikasi, klarifikasi, dan
investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim secara tertutup;
d.
memutuskan benar tidaknya laporan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; dan e. mengambil langkah
hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau
badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.
2. Selain
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas
mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan Hakim.
3. Dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a Komisi Yudisial dapat meminta
bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam
pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim oleh Hakim.[14]
Henry Fayol59 menyebutkan:
“control consist in veryvying wether
everything occur in comfirmity with the plan adopted, the instruction issued,
and principle established. It has for object to point out weaknesses in error
in order to rectivy then and prevent recurrence.”
Dari
pengertian ini dapat dilihat bahwa pengawasan hakikatnya merupakan suatu
tindakan menilai apakah sesuatu itu telah berjalan sesuai dengan yang telah
ditentukan. Dengan pengawasa tersebut akan dapat ditemukan kesalahankesalahan.
Kesalahan-kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki yang terpenting jangan
sampai kesalahan tersebut berulang kembali. Sementara itu,
Newman60 berpendapat bahwa
“control is assurance that the performance
conform to plan”
Ini berarti bahwa titik pengawasan adalah suatu usaha
untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Dengan
demikian, menurut Newman, pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan
selama proses suatu kegiatan sedang berjalan, bahkan setalah akhir proses
tersebut.
Dilihat
dari segi kedudukan badan/organ yang melaksanakan pengawasan, maka pengawasan
terdiri atas pengawasan internal dan eksternal.Dalam konteks pengawasan
terhadap hakim, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga pengawas yang eksternal
dan bersifat independen.
Pengawasan
eksternal terhadap perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
diharapkan dapat menutupi kelemahan-kelemahan pengawasan internal yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Komisi Yudisial menyatakan:
1.
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial menerima laporan
masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim.
2.
Untuk melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data
kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim.
3.
Pimpinan Badan Peradilan dan/atau Hakim wajib
memberikan keterangan atau data yang diminta oleh Komisi Yudisial sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.
4.
Apabila Badan Peradilan dan/atau Hakim
belum memberikan keterangan atau data dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Komisi Yudisial meminta keterangan dan/atau data tersebut melalui
pimpinan Mahkamah Agung.
5.
Pimpinan Mahkamah Agung meminta kepada
Badan Peradilan dan/atau Hakim untuk memberikan keterangan atau data sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal permintaan Komisi Yudisial.
6.
Apabila permintaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (4) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, pimpinan Badan
Peradilan atau Hakim yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
7.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Komisi Yudisial.
berdasarkan ketentuan Pasal 22 di atas maka Komisi
Yudisial dalam melakukan pengawasan perilaku hakim dilakukan berdasarkan
laporan masyarakat dan laporan berkala dan diberikan oleh badan peradilan
berdasarkan permintaan Komisi Yudisial.
Laporan
dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan hakim memiliki peran
yang sangat pentign karena kerap kali masyarakatlah yang berinteraksi langsung
dengna hakim ketika berperkara di pengadilan. Selain laporan masyarakat yang
disampaikan secara langsung, Komisi Yudisial juga dapat memperoleh informasi
mengenai dugaan pelanggaran perilaku hakim dari surat kabar atau media massa.
Media
massa harus dianggap bagian atau wakil masyarakat, pemberitahuan media massa
tentang penyimpangan perilaku hakim juga harus ditindaklanjuti dengan cara yang
sama seperti halnya Komisi Yudisial mendapatkan dugaan pelanggaran perilaku yang
berasal dari masyarakat.[15]
Komisi
Yudisial sebanyak mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam melaksanakan
tugas pengawasan terhadap perilaku hakim dengan beberapa langah sebagai
berikut:
1.
Pemberitahuan
kepada para pihak dan perlindungan kerahasiaan identitas pelapor. Hendaknya
Komisi Yudisal menginformasikan kepada pelapor apakah laporan penyimpangan
perilaku hakim ditindaklanjuti atau tidak dan hendaknya identitas dari pelapor
harus betul-betul dijaga kerahasiaannya agar masyarakat atau pihak mana pun
tidak enggan melaporkan penyimpangan perilaku hakim
2.
Akses
informasi Komisi Yudisial perlu membuka informasi kepada pihak yang tidak
berkepentingan secara langsung karena mayarakat masyarakat secara luas juga
memiliki ha katas proses dan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial. Hasilnya saja perlu dipilah dan dipilih mana informasi yang diakses
oleh public dan mana yang bersifat rahasia.
3.
Penerbitan laporan tahunan Disamping Komisi
Yudisial menyampaikan laporan dan pertanggungajawaban kepada pihak-pihak yang
berkepentingan secara langsung, disamping perlu juga menerbitkan laporan yang
disampaikan kepada masyarakat sebagai bentuk petanggungjawaban kepada public.
Komisi
Yudisial hendaknya juga melakukan rehabilitasi kedudukan dan nama baik seorang
hakim yang telah diduga melakukan pelanggaran, ternyata dalam proses
pemeriksaan tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduh tergolong berat
dan terlanjur menjadi opini public, maka upaya rehabilitasi adalah dengan
mengeluarkan pernyataan untuk dimuat di media massa.
SIMPULAN
Komisi Yudisial karenanya
dibentuk dengan dua kewenangan konsitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hukum.
Komisi Yudisial dibentuk sebagai
konsekuensi politik hokum (legal policy) untuk membangun system chek and
balancedalam struktur kekuasaan kehakiman. Sesuai fungsinya, Komisi Yudisial
dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas kekuasaan kehakiman yang
independen dan diharapkan berperan penting dalam mewujudkan demokrasi dan
Negara hokum dengan modal besar sebagai lembaga konsitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Hari, M. K. (t.thn.). Kamus Sinonim
Indonesia. 1983.
Hasanuddin. (2016). Peran Komisi Yudisial
Dalam Pengawasan Hakim.
Imam, A. S. (2014). Konsep Pengawasan
Kehakiman.
Jimly, A. (2003). Konsilidasi Naska UUD 1945
Setelah Perubahan Keempat.
Jimly, A. (2005). Sengketa Kewenangan Antar
Lembaga Negara.
Mardjono. (2010). Bungan Rampai Setahun
Komisi Yudisial. Komisi Yudisial RI.
Muchsan. (2000). Sistem Pengawasan Terhadap
Perbuatan Aparat Pemerintahan Dan PTUN Di Indonesia.
Sumaryono. (1995). Etika Profesi Hukum.
Tim, M. A. (2003). Naskah Akademis Dan
Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial.
Zainal, A. (t.thn.). Fungsi Komisi Yudisial
Dalam Reformasi Peradilan Sebelum dan Sesudah Putusan Mahkamah Konsitusi.
[1] Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah nama resmi Konstitusi Indonesia. Untuk
memudahkan, selanjutnya disebut UUD 1945.
[2] Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Cet. I,
(Malang: Setara Press, 2014),
[3] . Mardjono Reksodiputro, Bungan Rampai Setahun Komisi Yudisial,
Cetakan Ketiga, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2010),
[4] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Cet I, (Jogjakarta:
Kanisius, 1995)
[5] Lihat Pembukaan Keputusan
Barsama MA & KY tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
[6] Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indoensia Tahun 1945 adalah nama resmi Konstitusi Indonesia. Untuk
memudahkan, selanjutnya disebut UUD 1945
[7] Komisi Yudisial Republik Indoensia, 4 Tahun
Komisi Yudisial 2005-2009
[8] Hasanuddin, Peran
Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Hakim( jakarta, 2016)
[9] Zainal Arifin, Fungsi Komsis Yudisial Dalam Reformasi
Peradilan Sebelum Dan Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi, dimuat di
http://www.komisiyuisial.go.id.
[10] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naska UUD 1945 Setelah Perubahan
Keempat, Jakarta, Yasrif Watampone, 2003,
[11] Hari Murti Kridalaksana, Kamus Sinonim Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Nusa Indah Pres, 1983)
[12] Jimli Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara
(Jakarta: Konpress, 2005),
[13] Tim Mahkamah Agung , Naskah Akademis Dan Rancangan Undang-Undang
Tentang Komisi Yudisial, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2003)
[14] Hasanuddin, Peran
Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Hakim( jakarta, 2016)
[15] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat
Pemerintahan Dan PTUN Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar