Senin, 09 Mei 2022

JURNAL TENTANG PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM PENGAWASAN DAN PELAKSANAAN KODE ETIK PENDOMAN PERILAKU HAKIM

 

PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM PENGAWASAN DAN PELAKSANAAN KODE ETIK PENDOMAN PERILAKU HAKIM

1Agil Fatkhurohmah, 2Sarta, 3Rizki Winunggal

Hukum Keluarga Islam, Syariah, Universitas Islam Bandung

Agilfaturohmah@gmail.com

 

Abstrak

Etika profesi bertujuan agar setiap orang tetap berada dalam nilai-nilai profesional, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi profesi yang dipegangnya. Seorang pekerja tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas, tapi juga harus menjunjung etika profesi dalam segala aktivitasnya. Etika yang dimaksud adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok masyarakat dalam mengatur perilakunya. Etika profesi befungsi sebagai pedoman bagi semua anggota profesi mengenai prinsip profesionalitas yang ditetapkan, sebagai alat kontrol sosial bagi masyarakat umum terhadap profesi tertentu, dan sebagai sarana untuk mencegah campur tangan dari pihak lain di luar organisasi, terkait hubungan etika dalam keanggotaan suatu profesi. Etika profesi hukum (kode etik profesi) merupakan bagian yang terintegral dalam mengatur perilaku penegak hukum sebagai wujud penegakan hukum yang baik sekaligus berkeadilan. Penegakan hukum menuntut sikap integritas moral, sikap ini menjadi modal bagi penyelenggara profesi hukum dalam menjalankan tugas profesinya.

Kata Kunci : Hukum, Etika, Profesi

Abstrac

Professional ethics aims to ensure that everyone remains in professional values, is responsible, and upholds the profession he holds. A worker is not only required to complete tasks, but also must uphold professional ethics in all his activities. The ethics in question are the values ​​and moral norms that become the guideline for a person or group of people in regulating their behavior. Professional ethics serves as a guideline for all members of the profession regarding the established principles of professionalism, as a means of social control for the general public towards certain professions, and as a means to prevent interference from other parties outside the organization, related to ethical relationships in membership of a profession. The ethics of the legal profession (professional code of ethics) is an integral part in regulating the behavior of law enforcement as a form of law enforcement that is both good and fair. Law enforcement requires an attitude of moral integrity, this attitude becomes the capital for the organizers of the legal profession in carrying out their professional duties.

Key Words: Law, Ethics, Profession
 

PENDAHULUAN

            Transformasi demokrasi di berbagai negara pada umumnya ditandai dengan terjadinya perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas bagi pemerintahan terkhusus bagi kekuasaan kehakiman (judicial power). Reformasi di Indonesia juga menghasilkan amndemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)[1] yang memberikan jaminan konstitusional terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman.Amandemen UUD 1945 telah menciptakan sistem penyelenggaraan kekuasan kehakiman yang akuntabel dengan berdirinya lembaga baru bernama Komisi Yudisial. Komisi Yudisial ini menjadi bagian dari upaya memperbaiki instansi peradilan yang senantiasa diharapkan untuk menjaga kemandirian dan akuntabilitasnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

            Latar belakang terbuntuknya Komisi Yudisial merupakan reaksi keras terhadap kegagalan sistem peradilan yang berkeadilan. Peradilan di Indonesia diwarnai maraknya mafia hukum, mafia peradilan. Isu tersebut berkembang ditambah lagi dengan kenyataan banyaknya perkara ditingkat Kasasi Mahakmah Agung (MA) menumpuk dan menjadi sorotan masyarakat yang tidak puas dengan layanan system peradilan di tanah air. Praktik-praktik tersebut semakin  mangganjal ketika pengawasan internal tidak mampu mengendalikanya secara maksimal.[2]

            Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa wewenang Komisi Yudisial (KY) dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim di Indonesia yang diberikan melalui amandeman UUD 1945 dan kemudian dijabarkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 adalah jawaban (response) masyarakat untuk memperbaiki system peradilan Indonesia dari berbagai “masalah intern” yang dihadapi Mahkamah Agung (setelah berlakunya sistem satu atap).[3]

            Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa. Hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara.

            Hakim sebagai aktor utama atau figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Oleh sebab itu, semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang. Sebagaimana diatur dalam lafal sumpah seorang hakim dimana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim (equality be for the law).

            Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi. Sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah ”Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu hakim dalam mengambil keputusan harus benar-benar telah mempertimbangkan semua fakta yang ada dan didukung oleh alat bukti yang kuat, sehingga putusannya nanti dapat memuaskan rasa keadilan dalam masyarakat.[4]

Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim. Tetapi Pelaksanaan tugas tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan menetapkan perkara. Ketentuan mengenai pengawasan eksternal hakim diatur dalam undang-undang.

            Menurut Sri Soemantri dalam pertimbangan tersebut dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan dalam negara hukum dijamin kekuasaan kehakiman yang merdeka. Anak kalimat yang terdapat dalam pertimbangan tersebut berasal dari pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dan untuk mendukung keabsahan dalam melaksanakan tugasnya, dibentuk dan diberlakukanlah UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.Yang mana komisi ini merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri dalam melaksanakan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya termasuk kewenangan yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 005/PUUIV/2006. Hal ini merupakan sebuah kemajuan menyangkut penguatan kewenangan Komisi Yudisial.

            Tujuan utama dari fungsi pengawasan eksternal KY terhadap hakim adalah agar seluruh hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman senantiasa didasarkan dan sesuai dengan pengaturan perundang-undangan, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat dengan berpedoman kepada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).21 Tujuan pengawasan tersebut diturunkan kedalam sejumlah wewenang mulai dari UU No. 22 Tahun 2004, Pasal 42 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, Pasal 20 UU No. 18 Tahun 2011.[5]

            Kewenangan KY dalam menjaga perilaku hakim demi terwujudnya peradilan yang bersih sesuai amat reformasi menjadi pertanyaan oleh masyarakat yang selama ini menjadi salah satu pengawas penegakan hokum, mulai dari pengaduan yang diajukan sampai tidak adanya kejelasan atau tindak lanjut dari apa yang dilaporkan masyarakat, sehingga penulis ingin menjadikan artikel ini sebagai referensi bagi mereka yang selama ini mengeluh terhadap kinerja KY sebagai lembaga pengawas.

TUJUAN PENELITIAN

            Untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis, dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Komisi Yudisial.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan pendekatan pustaka. Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan secara analisis kuantitatif, dalam pelaksanaannya penelitian ini fokus pada penggunaan angka (numerik). Begitupun dalam teknik pengambilan data penelitiannya dilakukan dengan acak dan pengumpulan data pun dilakukan dengan cara memanfaatkan instrumen penelitian yang di pakai. Analisis pendekatan kuantitatif ini memiliki subjek penelitian yang biasa disebut responden atau tidak dengan cara penelitian melalui wawancara.

 

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Terbentuknya Komisi Yudisial

            Transisi demokrasi diberbagai Negara umumnya ditandai dengan terjadinya perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas bagi kekuasaan kahakiman (judicial power). Selama tiga puluh dua tahun rezim otoritarian memimpin republic ini yang pada tanggal 21 mei 1998 runtuh akibat aksi yang dilancarkan mahasiswa yang menuntut sebuah reformasi dari segala bidang, yang pertama penegakan hokum, dan yang kedua menstabilkan ekonomi bangsa. Reformasi di Indonesia juga menghasilkan Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. [6]Yang memberikan jaminan konstitusional terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman.

            Gagasan tentang perlunya lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam ranah kekuasaan kehakiman sebenarnya bukanlah gaagsan yang sama sekali baru. Sejarah mencatat, dalam pembahan RUU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Tahun 1968 misalnya, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis pertimbangna Penelitian hakim (MPPH).

            Majelis ini diharapkan berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hokuman jabatan para hakim yang diajukn, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Namun, dalam perjalanannya ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

            Walaupun demikian gagasan mengenaai kehadiran lembaga khusus yang mempunyai kewenangan tertentu dalam ranah kekuasaan kehakiman dalam perjalanannya tidak pernah dalam. Gagasan tersebut mengalami re-inkarnasi dan kali ini memperoleh akomodasi yang cukup ketika Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disahkan.

            Kata kunci yang sangat penting dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 adalah perintah bahwa untuk meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan trasparan oleh masyarakat.

            Selain itu juga dibentuk Dewan Kehormatan hakim yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta menyusun kode etik bagi para hakim. Dengan demikian, kesadaran tentang pentingnya transparan dan Dewan Kehormatan Hakim sudah mulai terbentuk yang kemudina diikuti dengan menuangkannya ke dalam sebuah Undang-Undang.

            Perihal lain yang menjadi semacam pintu awal bagi terbentuknya gagasan dibentuklah Komisi Yudisial di Indonesia adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Substansi dari TAP MPR tersebut berisikan tentang perlunya penanggulangan krisis di bidang hokum.Pasca reformasi, gagasan untuk menegakkan kewibawaan peradilan dengan menetapkan hakim sebagai main actor-nya semakin mendapati momentumnya.

            Melalui Amandemen Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 disepakati membentuk Komisi Yudisial.Maksud dasar yang menjadi semangat pembentukan Komisi Yudisial didasarkan pada keprihatinan mendalam mengenai kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak.

            Komisi Yudisial karenannya dibentuk dengan dua kewenangan konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.[7]

             Program pemberdayaan lembaga peradilan dan penegakan hokum lainnya menjadi perhatian Undang-Undang ini dan hal ini pula yang menjadi latar belakang terbentuknya[8] Komisi Yudisial dari Kegiatan pokok yang dilaksanakannya antara lain:

      1.            Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara trasnparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap system manajemen dan administrasi peradilan49secara terpadu;

      2.            Menyusun system system dan rekrutmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekrutmen dengan memegang asas kompetensi, transparan dan partisipasi baik bagi hakim maupun aparat penegak hokum lainnya:

      3.            Meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegakan hokum lainnya seperti Jaksa, Polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) melalui meningkatkan gaji dan tunjagan-tunjangan lainnya sampai pada tingkat pemenuhan kebetuhan hidup yang disesuaikan dengan tugas, wewenang, dan tanggungjawab kerja yang diemban; dan

      4.            Membentuk Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan.50Komisi yudisial atau dewan kehormatan hakim bersifat independen dan susunan keanggotaannya dipilih dari orang-orang yang memiliki integritas yan terpuji.

            Dengan demikian, Komisi Yudisial di Indonesia dipola sebagai lembaga yang mempunyai fungsi pengawasan, bertindak sebagai dewan kehormatan hakim, dan bersifat independen.

            Selanjutnya dalam rangka mengoprasionalkan keberadaan Komisi Yudisial, dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentangn Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.

            Amanat Reformasi untuk mewujudkan peradilan yang bersih, independen, dan akuntabel, maka Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri, berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ketentuan konstitusional tersebut selanjutnya diimplementasikan secara operasional dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.Kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.

            Komisi Yudisial dibentuk sebagai konsekuensi politik hokum (legal policy) untuk membangun system check and balancedalam struktur kekuasaan kehakiman. [9]Sesuai fungsinya, Komisi Yudisial dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas kekuasaan kehakiman yang independen dan diharapkan berperang penting dalam mewujudkan demokrasi dan Negara hokum dengan modal besar sebagai lembaga konstitusi (constitutional body).

            Menurut Jimly Asshiddiqie, Komisi Yudisial dibentuk sebagai instrument pengawasan diluar struktur Mahkamah Agung. Struktur baru ini membuka peluang masyarakat terlibat dalam proses pengangkatan hakim agung serta peduli dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika itu. Dengan demikian pengertian independen atau mandiri disini haruslah dipahami dalam arti bebas dari intervensi kepentingan para hakim yang kewibawaannya sendiri perlu di jaga oleh Komisi Yudisial.[10]

B.     Wewenang Dan Tugas Komisi Yudisial

 

            Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 24B UndangUndang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 perubahan atas UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dibentuknya Komisi Yudisial memperbanyak institusi negara yang mandiri (state auxiliaris institutions) dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menyatakan:

Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.”

Ketentuan tersebut maka komisis Yudisial merupakan lembaga yang mandiri (independence).Secara etimologis istilah “mandiri‟ berarti menunjukkan kemampuan berdiri sendiri, swapraja, swasembada. [11]Tidak ada campur tangan dari kekuasaan lain atau ketidakbergantungan satu pihak pada pihak yang lain dalam literature juga berarti “independen” dari bahasa inggrisnya independence

Menurut Jimli Asshiddiqie ada tiga pengertian independensi, yaitu:

      1.            Structutal Independence

Independensi kelembagaan dimana struktur suatu organisasi yang dapat digambarkandalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain.

      2.            Funtional Independence

Independensi yang dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaan

      3.            Financial Independence

Independensi yang dilihat dari kemandiriannya menetukan sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam menjalangkan fungsi.

Kedudukan Komisi Yudisial adalah sangat penting. Secara structural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.Akan tetapi, secara fungsional perannya bersifat menunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman.Komisi Yudisial meskipun kekuasaannya terkait dengan kekuasaan kehakiman, tidak menjalangkan fungsi kekuasaan kehakiman. Komis ini bukanlah lembaga penegak norma hokum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of etic).[12]

Walaupun Komisi Yudisial ditentukan sebagai lembaga yang independen tidak berarti bahwa Komisi Yudisial tidak diharuskan bertanggungjawab oleh undang-undang. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menentukan:

1.      Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada public melalui DPR

2.      Pertanggungjawaban kepada public sebagaiman dimaksud pada ayat

a.      dilaksanakan dengan cara:

1)      Menerbitkan laporan tahunan; dan

2)       Membuka akses informasi secara lengkap dan akurat

3.      Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a setidaknya memuat hal-hal sebagai berikut:

a.      Laporan penggunaan anggaran

b.       Data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan

c.        Data yang berkaitan dengan fungsi rekrutmen hakim agung.

4.      Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada presiden.

5.      Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksaan Keuangan menurut ketentuan undang-undang.

Dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 digunakan istilah “wewenang” untuk menunjuk fungsi yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial. Penggunaan istilah “wewenang” menurut Tim Penyusun Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung[13] kurang tepat karena kata wewenang biasanya diartikan sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang atau suatu badan untuk menjalangkan tugasnya. Sementara fungsi Komisi Yudisial berarti dalam rangka apa Komisi Yudisial dibentuk dan tugas menjunkkan hal-hal apa yang wajib dilakukan oleh suatu lembaga guna mencapai fungsi yang diharapkan.

            Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial. Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang (bevoegdheind) mengandung pengertian tugas (plichtin) dan hak (rechten). Menurut Bagir Manan,58 wewenang mengandung makna kekuasaan (macht) yang ada pada organ, sedangkan tugas dan hak ada pada pejabat dari organ.

            Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan bahwa

“Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a) Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR, dan; b) Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”, kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Pasal 13 kewenangan Komisi Yudisial bertambah seperti berikut:

“Komisi Yudisial mempunyai wewenang:

      4.            mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;

      5.            menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;

      6.            menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan

      7.            menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

            ”Berkaitan dengan penulisan yang diangkat guna mengetahui peran Komisi Yudisial dalam pengawasan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, maka penulisan ini lebih menjelaskan kepada kewenangan Komisi Yudisial terkait pengawsannya terhadap hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

            Pasal 24B hasil perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa:

“Komisis Yudisial berfungsi untuk menjaga dan menegakkan kehormata, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”

            Lebih lanjut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menyatakan bahwa untuk melaksanakan fungsi tersebut Komisi Yudisal melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana bunyi pasal 20 sebagai berikut:

1.      Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:

a.    melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim;

b.    menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim:

c.    melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;

d.    memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; dan e. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.

2.      Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan Hakim.

3.      Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.[14]

Henry Fayol59 menyebutkan:

 “control consist in veryvying wether everything occur in comfirmity with the plan adopted, the instruction issued, and principle established. It has for object to point out weaknesses in error in order to rectivy then and prevent recurrence.”

            Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa pengawasan hakikatnya merupakan suatu tindakan menilai apakah sesuatu itu telah berjalan sesuai dengan yang telah ditentukan. Dengan pengawasa tersebut akan dapat ditemukan kesalahankesalahan. Kesalahan-kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki yang terpenting jangan sampai kesalahan tersebut berulang kembali. Sementara itu,

Newman60 berpendapat bahwa

 “control is assurance that the performance conform to plan”

Ini berarti bahwa titik pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Dengan demikian, menurut Newman, pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan, bahkan setalah akhir proses tersebut.

            Dilihat dari segi kedudukan badan/organ yang melaksanakan pengawasan, maka pengawasan terdiri atas pengawasan internal dan eksternal.Dalam konteks pengawasan terhadap hakim, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga pengawas yang eksternal dan bersifat independen.

            Pengawasan eksternal terhadap perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial diharapkan dapat menutupi kelemahan-kelemahan pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menyatakan:

1.      Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

2.      Untuk melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim.

3.       Pimpinan Badan Peradilan dan/atau Hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.

4.      Apabila Badan Peradilan dan/atau Hakim belum memberikan keterangan atau data dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Komisi Yudisial meminta keterangan dan/atau data tersebut melalui pimpinan Mahkamah Agung.

5.      Pimpinan Mahkamah Agung meminta kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim untuk memberikan keterangan atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial.

6.      Apabila permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, pimpinan Badan Peradilan atau Hakim yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7.      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial.

berdasarkan ketentuan Pasal 22 di atas maka Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan perilaku hakim dilakukan berdasarkan laporan masyarakat dan laporan berkala dan diberikan oleh badan peradilan berdasarkan permintaan Komisi Yudisial.

            Laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan hakim memiliki peran yang sangat pentign karena kerap kali masyarakatlah yang berinteraksi langsung dengna hakim ketika berperkara di pengadilan. Selain laporan masyarakat yang disampaikan secara langsung, Komisi Yudisial juga dapat memperoleh informasi mengenai dugaan pelanggaran perilaku hakim dari surat kabar atau media massa.

            Media massa harus dianggap bagian atau wakil masyarakat, pemberitahuan media massa tentang penyimpangan perilaku hakim juga harus ditindaklanjuti dengan cara yang sama seperti halnya Komisi Yudisial mendapatkan dugaan pelanggaran perilaku yang berasal dari masyarakat.[15]

            Komisi Yudisial sebanyak mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap perilaku hakim dengan beberapa langah sebagai berikut:

      1.            Pemberitahuan kepada para pihak dan perlindungan kerahasiaan identitas pelapor. Hendaknya Komisi Yudisal menginformasikan kepada pelapor apakah laporan penyimpangan perilaku hakim ditindaklanjuti atau tidak dan hendaknya identitas dari pelapor harus betul-betul dijaga kerahasiaannya agar masyarakat atau pihak mana pun tidak enggan melaporkan penyimpangan perilaku hakim

     2.            Akses informasi Komisi Yudisial perlu membuka informasi kepada pihak yang tidak berkepentingan secara langsung karena mayarakat masyarakat secara luas juga memiliki ha katas proses dan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hasilnya saja perlu dipilah dan dipilih mana informasi yang diakses oleh public dan mana yang bersifat rahasia.

     3.             Penerbitan laporan tahunan Disamping Komisi Yudisial menyampaikan laporan dan pertanggungajawaban kepada pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung, disamping perlu juga menerbitkan laporan yang disampaikan kepada masyarakat sebagai bentuk petanggungjawaban kepada public.

            Komisi Yudisial hendaknya juga melakukan rehabilitasi kedudukan dan nama baik seorang hakim yang telah diduga melakukan pelanggaran, ternyata dalam proses pemeriksaan tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduh tergolong berat dan terlanjur menjadi opini public, maka upaya rehabilitasi adalah dengan mengeluarkan pernyataan untuk dimuat di media massa.

 

SIMPULAN

          Komisi Yudisial karenanya dibentuk dengan dua kewenangan konsitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hukum.

            Komisi Yudisial dibentuk sebagai konsekuensi politik hokum (legal policy) untuk membangun system chek and balancedalam struktur kekuasaan kehakiman. Sesuai fungsinya, Komisi Yudisial dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas kekuasaan kehakiman yang independen dan diharapkan berperan penting dalam mewujudkan demokrasi dan Negara hokum dengan modal besar sebagai lembaga konsitusi.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Hari, M. K. (t.thn.). Kamus Sinonim Indonesia. 1983.

Hasanuddin. (2016). Peran Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Hakim.

Imam, A. S. (2014). Konsep Pengawasan Kehakiman.

Jimly, A. (2003). Konsilidasi Naska UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat.

Jimly, A. (2005). Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara.

Mardjono. (2010). Bungan Rampai Setahun Komisi Yudisial. Komisi Yudisial RI.

Muchsan. (2000). Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintahan Dan PTUN Di Indonesia.

Sumaryono. (1995). Etika Profesi Hukum.

Tim, M. A. (2003). Naskah Akademis Dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial.

Zainal, A. (t.thn.). Fungsi Komisi Yudisial Dalam Reformasi Peradilan Sebelum dan Sesudah Putusan Mahkamah Konsitusi.

 

 



[1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah nama resmi Konstitusi Indonesia. Untuk memudahkan, selanjutnya disebut UUD 1945.

[2] Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Cet. I, (Malang: Setara Press, 2014),

[3] . Mardjono Reksodiputro, Bungan Rampai Setahun Komisi Yudisial, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2010),

[4] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Cet I, (Jogjakarta: Kanisius, 1995)

[5] Lihat Pembukaan Keputusan Barsama MA & KY tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

[6] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945 adalah nama resmi Konstitusi Indonesia. Untuk memudahkan, selanjutnya disebut UUD 1945

[7]  Komisi Yudisial Republik Indoensia, 4 Tahun Komisi Yudisial 2005-2009

[8] Hasanuddin,  Peran Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Hakim( jakarta, 2016)

[9] Zainal Arifin, Fungsi Komsis Yudisial Dalam Reformasi Peradilan Sebelum Dan Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi, dimuat di http://www.komisiyuisial.go.id.

[10] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naska UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta, Yasrif Watampone, 2003,

[11] Hari Murti Kridalaksana, Kamus Sinonim Bahasa Indonesia, (Jakarta: Nusa Indah Pres, 1983)

[12] Jimli Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara (Jakarta: Konpress, 2005),

[13] Tim Mahkamah Agung , Naskah Akademis Dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2003)

[14] Hasanuddin,  Peran Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Hakim( jakarta, 2016)

 

[15] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintahan Dan PTUN Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar