PERANAN KODE ETIK HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI
TERKAIT PERSELISIHAN SENGKETA PEMILU
Miftahunir
Rizka; Siti Rahmi Fadila; Ajeng Widanengsih; Anggi Regina Andriani; Isnaini
Mubarokah
Hukum
Keluarga Islam, Universitas Islam Bandung
Jl.
Tamansari No.1 Bandung
Abstrak
Hakim Konstitusi adalah jabatan yang
menjalankan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman. Oleh karena itu figur hakim konstitusi menentukan pelaksanaan
wewenang Mahkamah Konstitusi yang salah satu fungsinya adalah sebagai pengawal
konstitusi (the guardian of the constitution). Mahkamah Konstitusi memiliki
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang tertuang dalam peraturan Mahkamah
Konstitusi No.09/PMK/2006 tentang pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi (PMK Kode Etik). Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini
sebagai wujud pedoman bagi hakim konstitusi dalam menentukan penilaian terhadap
perilaku Hakim Konstitusi secara terus menerus dalam menjalankan fungsi
kelembagaan dan apa faktor-faktor pemicu terjadi pelanggaran etik oleh Ketua
MK. Penanganan sengketa pemilu oleh Mahkamah Konstitusi, sejak dialihkan dari
Mahkamah Agung, menimbulkan tekanan beban kerja yang cukup besar terhadap
sembilan hakim konstitusi. Tekanan ini terjadi akibat banyaknya perkara yang
masuk dan singkatnya waktu penyelesaian yang menurut undang-undang hanya 14
hari kerja sehingga memunculkan pertanyaan tentang efektifitas penyelesaian
sengketa pemilukada yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kata
Kunci: Kode Etik, Perselisihan Sengketa Pemilu.
Abstractk
Constitutional
judge is a position that is running the authority of the Constitutional Court
as one of the actors of the judicial power. Therefore the figure of the judge
of the constitution determine the implementation of the authority of the
Constitutional Court that one of its functions is as the guardian of the
constitution (the guardian of the constitution). The Constitutional court has
the Code of Ethics and Conduct of Judges of the Constitution that stipulated in
the regulations of the Constitutional Court No.09/PMK/2006 on the
implementation of the Declaration of the Code of Ethics and Conduct of Judges
of the Constitution (PMK Code of Ethics). The code of Ethics and Conduct of
Judges of the Constitution as a form of guidance for judges of the constitution
in determining the assessment of the behavior of Judges of the Constitutional
continuously in the running of the institutional functions and what factors
trigger occurs in violation of ethics by the Chairman of the constitutional
COURT. Handling electoral disputes by the Constitutional Court, since the redirected
from Supreme Court, raises the pressure of the workload to a nine-judge
constitution. This pressure occurs due to the number of cases that enter and
short completion time according to the legislation of only 14 days so that
raises the question about the effectiveness of the dispute settlement election
conducted by the Constitutional Court.
Key Word: Code Of Ethics, Dispute Disputed
Election.
A. Pendahuluan
Pemilu merupakan sebuah sarana bagi rakyat untuk
berpartisipasi dalam menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan. Pemilu-lah
yang pada akhirnya berfungsi sebagai sarana legitimasi politik bagi pemerintah
yang berkuasa, karena melalui pemilu gagasan bahwa pemerintahan memerlukan
persetujuan dari yang diperintah dapat diasosiasikan. Reformasi di akhir tahun
90-an yang kemudian diikuti dengan perubahan UUD 1945 berdampak pada berubahnya
sistem pemilihan umum. Pasca perubahan UUD 1945, baik pemilihan anggota
legislatif maupun pemilihan pelaksana kekuasaan eksekutif dilaksanakan secara
langsung oleh rakyat. Berdasarkan perubahan tersebut setiap warga negara
mempunyai hak untuk memilih perwakilannya di lembaga perwakilan seperti DPR,
DPD serta DPRD dan memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Semangat berdemokrasi dalam pemilihan
Presiden yang ditentukan dalam undang-undang dasar, kemudian mengilhami
perkembangan demokrasi pada level daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota), agar
kepala daerah juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Semangat tersebut
kemudian dituangkan dalam Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai payung hukum penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat yang disahkan dan diundangkan pada tanggal
15 Oktober 2004.
Pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil
presiden secara langsung oleh rakyat pertama sekali dilaksanakan pada tahun
2004. Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tingkat
kabupaten/kota untuk pertama kalinya dilaksanakan pada 1 Juni 2005 di Kabupaten
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kemudian disusul, Kota Cilegon, Banten,
Kota Pekalongan dan Kabupaten Kebumen Jawa Tengah pada 5 Juni 2005 dan
Kabupaten Indragiri Hulu, pada 11 Juni 2005. Sedangkan untuk pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah tingkat provinsi pertama kalinya dilaksanakan di
Sulawesi Utara pada 20 juni 2005. [1]
Melihat bahwa begitu pentingnya pemilu
dalam menentukan berjalannya demokrasi, maka untuk menjamin berjalannya pemilu
dengan benar yang nantinya akan melahirkan wakil-wakil yang sesuai dengan
kehendak rakyat maka diperlukanlah mekanisme untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi akibat pelanggaran dalam proses pemilu. Sengketa pemilu (electoral
dispute) itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh International IDEA memiliki
makna sebagai “Any complaint, challenge, claim or contest relating to any stage
of the electoral process.”9 Berdasarkan pengertian yang dideinisikan
oleh International IDEA tersebut dapat dikatakan bahwa cakupan dari electoral
dispute sangat luas dan mencakup seluruh proses pemilu.10 Sebab sebagai sebuah
proses politik maka proses pemilu sangat rentan dengan pelanggaran-pelanggaran
seperti pelanggaraan peraturan tentang pemilu terutama yang menyangkut
kampanye, permasalahan tindak pidana pemilu, permasalahan money politics, serta
kecurangan-kecurangan dalam perhitungan suara yang sangat mungkin mempengaruhi
hasil pemilu.[2]
Perselisihan hasil pemilihan yang menjadi
kewenangan MK menyelesaikannya adalah pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hanya saja, sejak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, MK juga diberi kewenangan untuk
memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).3 Namun
kewenangan MK menyelesaikan sengketa hanya bertahan selama lebih kurang 5
tahun. Sebab, melalui Putusan Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013,4 MK menyatakan
tidak lagi berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
Salah satu asalan yang dikemukakan dalam putusan tersebut, pilkada bukanlah
rezim pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 kemudian
ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disetujui DPR menjadi Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015. UU Nomor 1 Tahun 20015 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 kemudian mengadopsi sebuah badan peradilan khusus yang diberi
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Hanya
saja, menjelang badan peradilan khusus tersebut dibentuk, kewenangan
penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh Mahkamah
Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2015 yang
menyatakan, “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan
diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan
peradilan khusus. [3]
Permasalahan
pemilu di Indonesia diantaranya meliputi (1) pelanggaran pidana dan
administrasi pemilu, (2) perselisihan hasil perolehan suara. Penyelesaian
perselisihan hasil pemilu diatur dalam pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK.
Dalam praktiknya, kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan
umum MK berkembang dari hanya sekedar mengkaji mengenai kualitatif (angka-angka
hasil pemilu) yang kemudian juga mempersalahkan kualitatif (terpenuhinya
asas-asas konstitusional).[4]
Mengenai
penyelesaian sengketa proses pemilu di Bawaslu, penyelesaian sengketa proses
pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara, tata cara penyelesaian sengketa proses
pemilu d Pengadilan Tata Usaha Negara, Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu
termuat dalam pasal 467 sampai dengan pasal 472 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum. Perseisihan hasil pemilu meliputi perselisihan
antara KPU dan Peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara
nasional hal ini sebagaiman termuat dalam pasal 473 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan umum kemudian tata cara penyelesain perselisihan hasil
pemilu termuat dalam Pasal 474 dan Pasal 475 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang pemilihan umum. Namun secara efisien, definisi sengketa pemilihan
berdasarkan Peraturan Bawaslu Nomor 8 tahun2015 mengenai tata cara penyelesaian
sengketa pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, pasal 2 ayat 2,
mendefinisikan penyelesaian sengketa dilakukan karena adanya sengketa yang
timbul karena : peristiwa penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu
mengenai suatu masalah kegiatan dan /atau peristiwa yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemilihan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan, keadaan dimana terdapat pengakuan yang berbeda dan/atau
penolakan penghindaran antarpeserta Pemilihan dan antar peserta pemilihan
dengan penyelesain pemilihan, dan keputusan KPU Provinsi atau keputusan KPU
Kabupaten/Kota.[5]
B. Tinjauan
Pustaka
Studi terkait “Peranan Kode Etik Hakim
Mahkamah Konstitusi Terkait Perselisihan Sengketa Pemilu” terdapat sejumlah
penelitian yang memiliki relevansi dengan tema penelitian ini. Diantara hasil-hasil
penelitian ini. Diantara hasil-hasil penelitian tersebut adalah:
1. Melfa
Deu (2015) tentang “KODE ETIK HAKIM DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA” Dalam
penelitian tersebut, penulis menyimpulkan Bahwa kode Etik dan pedoman perilaku
pada hakim yang diatur dalam surat keputusan bersama antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah merupakan pedoman untuk para hakim
dalam menjalankan kehidupannya baik dalam persidangan maupun diluar
persidangan. Bahwa Komisi Yudisial sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar 1945 maupun undang-undang KY adalah merupakan lembaga Independen dalam
lingkup Kekuasaan Kehakiman tetapi bukan pelaku yudisial dan merupakan lembaga
pengawas internal terhadap person dari hakim dalam kekuasaan kehakiman.
2. Refly
Harun (2016) tentang “Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum” Dalam penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Mandat
pembentuk peradilan khusus yang akan diberi kewenangan menyelesaikan sengketa
hasil pilkada seharusnya ditindak lanjuti dalam kerangka berfikir yang
komprehensif. Dalam arti, peradilan khusus ini seyogianya tidak hanya dibentuk
untuk penyelesaian sengketa hasil pilkada semata, melainkan juga harus diformat
sebagai sebuah peradilan pemilu yang berwenang menyelesaikan semua sengketa
pemilu dan pilkada, kecuali sengketa hasil pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, dan DPRD yang tetap menjadi kewenangan MK. Dengan demikian, hanya
akan ada dua peradilan yang terlibat dalam penyelesaian perselisihan terkait
proses maupun hasil pemilu dan pilkada, yaitu MK untuk penyelesaian sengketa
hasil pemilu, dan peradilan pemilu yang akan menyelesaian sengketa pemilu
(proses saja) dan sengketa pilkada (proses maupun hasil).
3. R.
Nazriyah (2015) tentang “Penyelesaian Sengketa Pilkada Setelah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013” Dalam penelitian tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa Melalui
putusan nomor 97/PUU/XI/2013 Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangannya untuk
menangani sengketa Pilkada dengan pertimbangan bahwa, “... pembentuk
undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu
dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan
hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung...”. Kewenangan
untuk mengadili sengketa pilkada selama belum ada undang-undang yang
mengaturnya tetap berada di tangan MK. Alasannya agar tidak ada keragu-raguan,
ketidakpastian hukum, dan kevakuman lembaga yang menyelesaikan sengketa
pilkada. Lembaga yang dianggap paling pas menangani sengketa Pilkada adalah
Mahkamah Agung dengan mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi di tiaptiap
daerah. Jika pihak yang berperkara tidak puas dengan putusan Pengadilan Tinggi
maka, dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung. Sementara UU No. 1 Tahun
2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, masih menyerahkan kepada
Mahkamah Konstitusi (meski sifatnya sementara) untuk menyelesaikan sengketa
Pilkada. Untuk itu, perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai lembaga mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa
Pilkada.
C.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini
merupakan penelitian di bidang hukum, yang berkontribusi pada pengembangan keilmuan dan perbaikan praktik hukum ditengah-tengah masyarakat,
terutama dalam penegakan etika profesi
hakim konstitusi bagi pejabat-pejabat negara, sekaligus
merekonstruksi kelembagaan peradilan yang ideal.
Penelitian hukum normatif
dilakukan untuk menggali data sekunder
dengan (1) pendekatan perundang-undangan
(statute approach) yang memfokuskan pada
regulasi-regulasi yang mengatur etika dan
penegakkannya; dan (2) pendekatan kasus
(case approach) memfokuskan pada pembahasan kasus-kasus pelanggaran etika
yang dilakukan oleh pejabat negara. Pengumpulan data dalam penelitian hukum
normatif
dilakukan dengan studi kepustakaan (library research) yang menelaah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif, deskriptif kualitatif yang
dimaksudkan agar peneliti mampu melakukan konstruksi ketentuan etika yang ideal
dan membangun peradilan etik yang independen dan imparsial.
Pendekatan
analisa secara deskriptif kualitatif dilakukan dengan melakukan penyeleksian
data diperoleh, baik data primer maupun data sekunder. Hasil penyeleksian data
akan dimasukkan dalam sub bahasan analisis. Data-data yang telah disistematisasi,
kemudian dianalisis secara komprehensif berdasarkan fokus kajian yang akan
dijawab dalam penelitian ini.
D.
HASIL
PENELITIAN
Mekanisme
Penyelesaian Sengketa Pemilukada Mahkamah Konstitusi selain bertindak sebagai
pengawal konstitusi juga adalah sebagai pengawal demokrasi. Kewenangan
untuk menyelesaikan sengketa pemilu yang dimandatkan oleh konstitusi
mencerminkan bahwa MK adalah pengawal demokrasi. Dalam setiap melakukan
tugasnya untuk menyelesaikan sengketa pemilu mekanisme yang digunakan
didasarkan atas Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 15/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum. Dalam menjalankan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
Pemilu, MK menerapkan mekanisme peradilan cepat atau speedy trial, sesuai yang
tercantum dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 yang menyatakan
bahwa: Peradilan perselisihan hasil Pemilukada bersifat cepat dan sederhana,
sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
dan mengikat.” Mekanisme speedy trial yang juga diamanatkan dalam UU ini,
mengharuskan MK untuk menyelesaikan sengketa dalam waktu 14 hari kerja, keputusan
penyelesaian perselisihan ini dilakukan melalui mekanisme atau proses
persidangan. Dalam proses persidangan yang sangat singkat ini hakim konstitusi
dituntut untuk menilai seluruh alat bukti yang diajukan dalam persidangan.
Pemeriksaan alat bukti ini menjadi hal yang sangat krusial, karena dari alat
bukti ini inilah MK dapat menjatuhkan putusan.[6]
Dalam melakukan permohonan untuk menggugat
hasil pemilukada pemohon harus memberikan uraian yang jelas mengenai kesalahan
hasil pemilukada yang dilakukan oleh Termohon, permintaan untuk membatalkan
keseluruhan atau sebagian hasil penghitungan suara, dan juga permintaan untuk
menetapkan hasil penghitungan suara yang dianggap benar oleh pemohon. Hal ini
ditujukan untuk membuktikan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh termohon.
Selanjutnya setelah dilewatinya tahap pemohonan pembatalan hasil penghitungan
suara Pemilukad dan registrasi perkara, tahap selanjutnya adalah melakukan
persidangan. Dalam persidangan ini agenda terpenting yang dilakukan menyangkut
pembuktian yang dilakukan oleh pemohon. Selain itu untuk kepentingan
pembuktian, MK dapat melakukan persidangan jarak jauh (video conference), hal
ini karena luasnya cakupan sengketa yang menjadi domain MK. Untuk kepentingan
pemeriksaan juga, MK dapat melakukan putusan sela yang terkait dengan
perhitungan suara ulang. Selain itu terdapat faktor lain yang juga berpengaruh
dalam mekanisme penyelesaian sengketa Pemilukada terletak pada keyakinan Hakim
Konstitusi berdasarkan alat bukti yang menjadi penentu dalam proses pengambilan
keputusan. Namun, sebagian kalangan menilai bahwa faktor keyakinan Hakim
Konstitusi ini telah menghasilkan keputusan yang tergolong kontroversial.
Dianggap demikian karena Fajar Kuala Nugraha, Peran Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 66 Permohonan Ditolak Dilakukan
perbaikan sepanjang masih dalam tenggat waktu pengajuan Putusan Putusan
diumumkan 14 hari sejak tercatat di dalam Buku Perkara Konstitusi (BRPK)
Permohonan Diterima Dimasukkan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
Pengajuan Permohonan Pengajuan dilakukan Paling lambat 3 hari setelah hasil
Pemilukada ditetapkan Rapat Permusyawaratan Hakim Rapat yang dilakukan para
hakim untuk untuk mengambil keputusan hakim untuk Panel Hakim dan
sekurang-kurangnya 7 hakim untuk Pleno Hakim atas sekurang-kurangnya 3 Sidang
terdiri Pemeriksaan Persidangan keyakinan Hakim Konstitusi telah menciptakan
norma hukum baru, yaitu dengan memaknai dan memberikan pandangan hukum melalui
putusan-putusan yang dikeluarkan dalam perkara Pemilukada dengan memberikan
tafsiran yang lebih luas demi menegakkan keadilan. [7]
Mahkamah Konstitusi juga membagi tiga
jenis pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilukada yakni, pertama pelanggaran
tentang persyaratan dalam keikutsertaan Pemilukada yang bersifat prinsip dan
dapat diukur (hal ini dapat berupa syarat tidak pernah dijatuhi hukuman pidana
dan syarak keabsahan dukungan bagi calon independen). Kedua, pelanggaran dalam
proses pelaksanaan Pemilukada yang tidak berpengaruh langsung terhadap hasil
suara seperti contohnya seperti pembuatan baliho, penggunaan lambang pada
kertas simulasi dan alat peraga yang tidak sesuai dengan perundang-undangan
Pemilukada. Ketiga, pelanggaran pemilukada seperti tren-tren kasus sengketa
Pemilukada yang dijelaskan diatas (money politics, keterlibatan PNS, dugaan
pidana dan sebagainya). Pelanggaran ini dapat membatalkan hasil suara
Pemilukada sepanjang pelanggaran terebut memiliki pengaruh signifikan terhadap
perolehan suara pemilukada dan terjadi secara sistemati s, terstruktur, dan
masif (STM). Kesemua bentuk pelanggaran ini ukurannya telah dijelaskan dan
ditetapkan dalam berbagai putusan MK.[8]
Tabel Sengketa Pemilu yang Diutus MK.[9]
No |
Tanggal
Putusan |
Pemohon |
Pokok
Perkara |
Amar
Putusan |
1. |
10-12-2008 |
Hj. Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono |
Pilkada Provinsi Jawa Timur |
Dikabulkan sebagian, antara lain : a.
Pemungutan
suara ulang b.
Penghitungan
suara ulang. |
2. |
11-12-2008 |
Drs. Daniel A. Banunaek, MA dan Drs. Alexander Nakamnau |
Kabupaten Timor Tengah Selatan |
Dikabulkan
sebagian, antara lain: a. Pemungutan suara ulang b. Penghitungan suara ulang. |
3. |
16-12-2008 |
Ir. Roy Mangotang Sinaga dan Djujung Pangondian
Hutauruk |
Tapanuli Utara |
Dikabulkan
sebagian, antara lain: Pemungutan suara ulang |
4. |
08-01-2009 |
H. Rescan Effendi dan Dr. Drh. Rohidin Mersyah, MMA |
Kabupaten Bengkulu Selatan |
Dikabulkan
sebagian antra lain: a. Batal pemilukada b. Pemungutan suara ulang kecuali
nomer urut 7 |
5. |
03-06-2010 |
Drs. I.B.M. Brahmanputra, S.SOS., MM dan Iwayan
Winurja, S.H. |
Kabupaten Bangli |
Putusan
sela berupa pemungutan suara ulang |
6. |
11-06-2010 |
Ir.
H. Umar Zunaidi Hasibuan, MM dan H. Irham Taufik, S.H., MAP. |
Kota Tebing Tinggi |
Dikabulkan
sebagian antara lain: Pemungutan suara ulang, kecuali pihak terkait |
7. |
14-06-1010 |
H.
Surunuddin Dangga,MBA dan Drs. H. Muchtar Silondae, Msi |
Kabupaten Konawe Selatan |
Dikabulkan
sebagian antara lain: Pemungtan suara ulang disetiap TPS |
8. |
21-06-2010 |
Jarot
Winarno dan Kartius |
Kabupaten Sintang Tempunak |
Putusan
sela berupa pemungutan suara ulang dan pemungutan suara ulang |
9. |
17-06-2010 |
Ir.
H. Suhandoyo SP dan Dra. Hj. Kartika Hidayati, MM |
Kabupaten Lamongan |
Dikabulkan
sebagian yaitu Putusan Sela berupa penghitungan suara ulang |
10. |
24-06-2010 |
H.
Sambali Halim Radianto dan H. Moh. Qosim |
Kabupaten Gresik |
Putusan
Sela berupa pemungutan suara ulang |
11. |
30-06-2010 |
Drs.
Arif Afandi, M.Si dan Ir. Adies Kadir, S.H., M.Hum. |
Kota Surabaya |
Putusan
Sela berupa penghitungan surat suara ulang dan pemungutan suara ulang |
12. |
06-07-2010 |
H.
Indra Porkas Lubis, M.A., dan H. Firdaus Nasution (Nomor urut 7) |
Kabupaten Mandailing Natal |
Dikabulkan
yaitu pemungutan suara ulang seluruhnya |
13. |
07-07-2010 |
H.
Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto |
Kabupaten Kotawaringin Barat |
Dikabulkan
berupa Pendiskualifikasian dan penetapan salah satu pasangan calon |
14. |
10-08-2010 |
H.
Reskan Effendi dan Rohidin Mersyah |
Kabupaten Bengkulu Selatan |
Dikabulkan berupa penetapan pasangan calon terpilih |
15. |
13-08-2010 |
Parhan
Ali dan Erwan |
Kabupate Bangka |
Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang |
16. |
02-09-2010 |
Linneke
Syennie Watoelangkow, S.Sos dan Ir. Jimmy Stefanus Wewengkang, MBA |
Kota Tomohon |
Dikabulkan
sebagian yakni Putusan Sela berupa penghitungan surat suara ulang dan
pemungutan suara ulang. |
17. |
03-09-2010 |
Hanny
Joost Pajouw, S.E.,Ak., ME dan Drs. Hj. Anwar Panawar (No.Urut 5) |
Kota Manado |
Dikabulkan
sebagian yakni Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang |
18. |
02-09-2010 |
Francisca
M. Tuwaidan dan Ir. Willy E.C Kumentas (No. Urut.4) |
Kabupaten Minahasa Utara |
Putusan
Sela berupa pemungutan suara ulang |
19. |
09-12-2010 |
Frederikus
Gebze, SE dan Waryoto, M.Si(calon No. Urut 1), Laurensius Gebze, S. Sos dan
Drs. H. Acnan Rosyadi (Calon No Urut 2), Daniel Walinaulik, S.Sos dan Ir.
Omah Laduani Ladamay, M.Si (Calon No. Urut 20) |
Kabupaten Merauke |
Putusan
Sela berupa pemungutan suara ulang |
20. |
02-12-2010 |
Muh.
Amin, S.H.MSI dan Nurdin Ranggabarani, S.H., M.H |
Kabupaten Sumbawa |
Putusan
Sela berupa pemungutan suara ulang |
21. |
14-12-2010 |
Ir.
H. Darwin Zulad, M.Si. dan H.M. Syarifuddin Harahap (Pasangan Calon Nomor
urut 3) |
Kota Tanjung Balai |
Putusan
Sela berupa pemungutan suara ulang |
22. |
06-20-2010 |
Drs.
Nataniel Dominggus Mandacan, M.Si dan Wempi Welly Rengkung, S.E |
Kabupaten Manokwari |
Dikabulkan
berupa penetapan suara yg benar |
23. |
19-10-2010 |
Julianus
Mnusefer, S.Si, Th, MAP dan Theodorus Kawer, SIP |
Kabupaten Supiori |
Dikabulkan
berupa pembatalan dan penetapan salah satu pasangan calon pada putaran kedua |
24. |
18-11-2010 |
Hj.
Erna Narulita, SE., MM dan H. Apud Mahpud |
Kabupaten Pandeglang |
Dikabulkan
sebagian berupa pemungutan suara ulang |
25. |
25-11-2010 |
1.Drs.
H. Abdul Hamid Basir dan Drs. H. Tamrin Pawani (pasangan calon nomor urut 2) 2.Ir.
Mustari, MBA, M.Si dan H. Muh. Nur Sinapoy, SE, M.Si (pasangan Calon nomor
urut 3) 3.Apoda, SE, MP dan Drs. Kahar, M,Pd (nomor urut 4) 4.Herry Asiku, SE
dan Drs. Andhy Beddu. D (nomor urut 6) 5.H. Herry Hermansyah Silondae, SE dan
Ir. Andi syamsul Bahri, M.Si (nomor urut 7) 6.Ir. Slamet riadi dan H. Rudin
Lahadi (nomor urut 8 |
Kabupaten Konawe Utara |
Putusan
Sela berupa pemungutan suara ulang |
26. |
25-11-2010 |
Hendrik
Worumi, S.Sos, M.Si dan Penen Ifi Kogoya, S.Pd, MM |
Kota Jayapura |
Dikabulkan
sebagian berupa legal standing bakal calon dan Pemilukada ulang |
27. |
10-12-2010 |
Drs.
H. Arsid, M. Si dan Andreas Taulany (nomor urut 3) |
Kota Tangerang Selatan |
Dikabulkan
sebagian berupa pemungutan suara ulang |
28. |
04-03-2010 |
Ir.
Zainudin Boy, MM dan Yahnis
M. Lesnussa, SE (nomor Urut 4) |
Kabupaten Buru Selatan Tahun 2010 |
Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang |
29. |
30-12-2010 |
Petrus
Yoram Mambai |
Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2010 |
Dikabulkan
sebagian berupa Pemilukada ulang dengan terlebih dahulu melakukan verifikasi
administrasi dan faktual terhadap seluruh pasangan calon. |
30. |
20-12-2010 |
Ir.
Marinus Worabay dan Bolly Frederik |
|
|
E. PENUTUP
Peranan kode etik hakim mahkamah konstitusi terkait
perselisihan sengketa pemilu ini sangat urgen dengan menjamurnya pelanggaran kode
etik yang melibatkan pejabat negara didalam nya, apalagi selama ini tidak
adanya standar ketentuan etika yang menjadi panduan perilaku pejabat negara.
Sebagian lembaga etik masih berada pada cengkeraman lembaga negara yang menaunginya
dan masih menempatkannya pada posisi di bawah pimpinan lembaga negara, sehingga
intervensi kepentingan sangat mungkin dilakukan. Peranan kode etik hakim
mahkamah konstitusi terkait perselisihan sengketa pemilu memiliki relevansi
dengan upaya memperkuat integritas hakim MK. Penegakan hukum dalam suatu negara
itu tergantung pada kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial yang
didasarkan atas sikap jujur dan integritas para hakimnya. Oleh karena itu,
upaya untuk menjaga dan memperkuat integritas hakim MK merupakan hal mutlak
yang harus dilakukan. Penguatan integritas ini sejalan dengan amanat konstitusi
yang mensyaratkan bahwa seorang hakim konstitusi haruslah sosok yang mempunyai
integritas. Rekonstruksi kedudukan dan kewenangan Dewan Etik Hakim Konstitusi
ini nantinya diarahkan untuk memperkuat integritas hakim MK melalui penegakan
kehormatan, keluhuran martabat serta kode etik dan pedoman perilaku hakim
konstitusi.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, M. (2019). Penyelesaian Sengketa Pemilihan
Umum Di Indonesia. wajah Hukum, 3, 78-79.
Bisariyadi. (2012). Komparasi Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional. Jurnal
Konstitusi, 539.
Fajar, K. N. (2016). Peran Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Transformative, 67-69.
Harun, R. (2016). Rekonstruksi Kewenangan
Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Jurnal Konstitusi, Volume
13 Nomor.1, 2-3.
Satrio, A. (2015). Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization of Politics.
Jurnal Konstitusi, Volume 12 Nomor.1 , 4-5.
Zoelva, H. (2013). Problematika Penyelesaian
Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi,
Volume 10 Nomor 3., 1-3.
[1]Hamdan
Zoelva, “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah
Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume.10 Nomor.3 (2013), 1-3.
[2] Abdurrachman
Satrio, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hail Pemilu
Sebagai Bentuk Judicialization Of Politics”, Jurnal Konstitusi, Volume 12
Nomor.1 (2015), 4-5.
[3] Refly
Harun, “Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum”, Jurnal Konstitusi Volume 13 Nomor.1 (2016), 2-3.
[4]
Bisariyani, “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa
Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional “, Jurnal Konstitusi Volume 9
Nomor 3 (2012)hlm 539
[5]
Mhd.Ansori, Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Di Indonesia, Jurnal Wajah
Hukum Volume 3 (2019),hlm 78-79.
[6] Kuala Nugraha Fajar, Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah
(Pilkada), Transformative, 2016, hlm 65
[7] Kuala Nugraha Fajar, Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah
(Pilkada), hlm 65-66
[8] Kuala Nugraha Fajar, Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah
(Pilkada), hlm 66
[9] Kuala Nugraha Fajar, Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah
(Pilkada), hlm 67-69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar