Senin, 09 Mei 2022

PERANAN KODE ETIK HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT PERSELISIHAN SENGKETA PEMILU

 

PERANAN KODE ETIK HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT PERSELISIHAN SENGKETA PEMILU

Miftahunir Rizka; Siti Rahmi Fadila; Ajeng Widanengsih; Anggi Regina Andriani; Isnaini Mubarokah

Hukum Keluarga Islam, Universitas Islam Bandung

Jl. Tamansari No.1 Bandung

miftahunirriska@gmail.com

Abstrak

Hakim Konstitusi adalah jabatan yang menjalankan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu figur hakim konstitusi menentukan pelaksanaan wewenang Mahkamah Konstitusi yang salah satu fungsinya adalah sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Mahkamah Konstitusi memiliki Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang tertuang dalam peraturan Mahkamah Konstitusi No.09/PMK/2006 tentang pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (PMK Kode Etik). Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini sebagai wujud pedoman bagi hakim konstitusi dalam menentukan penilaian terhadap perilaku Hakim Konstitusi secara terus menerus dalam menjalankan fungsi kelembagaan dan apa faktor-faktor pemicu terjadi pelanggaran etik oleh Ketua MK. Penanganan sengketa pemilu oleh Mahkamah Konstitusi, sejak dialihkan dari Mahkamah Agung, menimbulkan tekanan beban kerja yang cukup besar terhadap sembilan hakim konstitusi. Tekanan ini terjadi akibat banyaknya perkara yang masuk dan singkatnya waktu penyelesaian yang menurut undang-undang hanya 14 hari kerja sehingga memunculkan pertanyaan tentang efektifitas penyelesaian sengketa pemilukada yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Kata Kunci: Kode Etik, Perselisihan Sengketa Pemilu.

Abstractk

Constitutional judge is a position that is running the authority of the Constitutional Court as one of the actors of the judicial power. Therefore the figure of the judge of the constitution determine the implementation of the authority of the Constitutional Court that one of its functions is as the guardian of the constitution (the guardian of the constitution). The Constitutional court has the Code of Ethics and Conduct of Judges of the Constitution that stipulated in the regulations of the Constitutional Court No.09/PMK/2006 on the implementation of the Declaration of the Code of Ethics and Conduct of Judges of the Constitution (PMK Code of Ethics). The code of Ethics and Conduct of Judges of the Constitution as a form of guidance for judges of the constitution in determining the assessment of the behavior of Judges of the Constitutional continuously in the running of the institutional functions and what factors trigger occurs in violation of ethics by the Chairman of the constitutional COURT. Handling electoral disputes by the Constitutional Court, since the redirected from Supreme Court, raises the pressure of the workload to a nine-judge constitution. This pressure occurs due to the number of cases that enter and short completion time according to the legislation of only 14 days so that raises the question about the effectiveness of the dispute settlement election conducted by the Constitutional Court.

Key Word: Code Of Ethics, Dispute Disputed Election.

A.    Pendahuluan

Pemilu merupakan sebuah sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan. Pemilu-lah yang pada akhirnya berfungsi sebagai sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa, karena melalui pemilu gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah dapat diasosiasikan. Reformasi di akhir tahun 90-an yang kemudian diikuti dengan perubahan UUD 1945 berdampak pada berubahnya sistem pemilihan umum. Pasca perubahan UUD 1945, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan pelaksana kekuasaan eksekutif dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Berdasarkan perubahan tersebut setiap warga negara mempunyai hak untuk memilih perwakilannya di lembaga perwakilan seperti DPR, DPD serta DPRD dan memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Semangat berdemokrasi dalam pemilihan Presiden yang ditentukan dalam undang-undang dasar, kemudian mengilhami perkembangan demokrasi pada level daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota), agar kepala daerah juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Semangat tersebut kemudian dituangkan dalam Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai payung hukum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004.

Pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat pertama sekali dilaksanakan pada tahun 2004. Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tingkat kabupaten/kota untuk pertama kalinya dilaksanakan pada 1 Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kemudian disusul, Kota Cilegon, Banten, Kota Pekalongan dan Kabupaten Kebumen Jawa Tengah pada 5 Juni 2005 dan Kabupaten Indragiri Hulu, pada 11 Juni 2005. Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tingkat provinsi pertama kalinya dilaksanakan di Sulawesi Utara pada 20 juni 2005. [1]

Melihat bahwa begitu pentingnya pemilu dalam menentukan berjalannya demokrasi, maka untuk menjamin berjalannya pemilu dengan benar yang nantinya akan melahirkan wakil-wakil yang sesuai dengan kehendak rakyat maka diperlukanlah mekanisme untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi akibat pelanggaran dalam proses pemilu. Sengketa pemilu (electoral dispute) itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh International IDEA memiliki makna sebagai “Any complaint, challenge, claim or contest relating to any stage of the electoral process.”9 Berdasarkan pengertian yang dide􏰀inisikan oleh International IDEA tersebut dapat dikatakan bahwa cakupan dari electoral dispute sangat luas dan mencakup seluruh proses pemilu.10 Sebab sebagai sebuah proses politik maka proses pemilu sangat rentan dengan pelanggaran-pelanggaran seperti pelanggaraan peraturan tentang pemilu terutama yang menyangkut kampanye, permasalahan tindak pidana pemilu, permasalahan money politics, serta kecurangan-kecurangan dalam perhitungan suara yang sangat mungkin mempengaruhi hasil pemilu.[2]

Perselisihan hasil pemilihan yang menjadi kewenangan MK menyelesaikannya adalah pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hanya saja, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, MK juga diberi kewenangan untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).3 Namun kewenangan MK menyelesaikan sengketa hanya bertahan selama lebih kurang 5 tahun. Sebab, melalui Putusan Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013,4 MK menyatakan tidak lagi berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Salah satu asalan yang dikemukakan dalam putusan tersebut, pilkada bukanlah rezim pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.

Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disetujui DPR menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. UU Nomor 1 Tahun 20015 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kemudian mengadopsi sebuah badan peradilan khusus yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Hanya saja, menjelang badan peradilan khusus tersebut dibentuk, kewenangan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2015 yang menyatakan, “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus. [3]

      Permasalahan pemilu di Indonesia diantaranya meliputi (1) pelanggaran pidana dan administrasi pemilu, (2) perselisihan hasil perolehan suara. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu diatur dalam pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK. Dalam praktiknya, kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum MK berkembang dari hanya sekedar mengkaji mengenai kualitatif (angka-angka hasil pemilu) yang kemudian juga mempersalahkan kualitatif (terpenuhinya asas-asas konstitusional).[4]

      Mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu di Bawaslu, penyelesaian sengketa proses pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara, tata cara penyelesaian sengketa proses pemilu d Pengadilan Tata Usaha Negara, Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu termuat dalam pasal 467 sampai dengan pasal 472 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Perseisihan hasil pemilu meliputi perselisihan antara KPU dan Peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional hal ini sebagaiman termuat dalam pasal 473 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum kemudian tata cara penyelesain perselisihan hasil pemilu termuat dalam Pasal 474 dan Pasal 475 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang pemilihan umum. Namun secara efisien, definisi sengketa pemilihan berdasarkan Peraturan Bawaslu Nomor 8 tahun2015 mengenai tata cara penyelesaian sengketa pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, pasal 2 ayat 2, mendefinisikan penyelesaian sengketa dilakukan karena adanya sengketa yang timbul karena : peristiwa penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah kegiatan dan /atau peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, keadaan dimana terdapat pengakuan yang berbeda dan/atau penolakan penghindaran antarpeserta Pemilihan dan antar peserta pemilihan dengan penyelesain pemilihan, dan keputusan KPU Provinsi atau keputusan KPU Kabupaten/Kota.[5]

B.     Tinjauan Pustaka

Studi terkait “Peranan Kode Etik Hakim Mahkamah Konstitusi Terkait Perselisihan Sengketa Pemilu” terdapat sejumlah penelitian yang memiliki relevansi dengan tema penelitian ini. Diantara hasil-hasil penelitian ini. Diantara hasil-hasil penelitian tersebut adalah:

1.      Melfa Deu (2015) tentang “KODE ETIK HAKIM DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA” Dalam penelitian tersebut, penulis menyimpulkan Bahwa kode Etik dan pedoman perilaku pada hakim yang diatur dalam surat keputusan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah merupakan pedoman untuk para hakim dalam menjalankan kehidupannya baik dalam persidangan maupun diluar persidangan. Bahwa Komisi Yudisial sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 maupun undang-undang KY adalah merupakan lembaga Independen dalam lingkup Kekuasaan Kehakiman tetapi bukan pelaku yudisial dan merupakan lembaga pengawas internal terhadap person dari hakim dalam kekuasaan kehakiman.

2.      Refly Harun (2016) tentang “Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum” Dalam penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Mandat pembentuk peradilan khusus yang akan diberi kewenangan menyelesaikan sengketa hasil pilkada seharusnya ditindak lanjuti dalam kerangka berfikir yang komprehensif. Dalam arti, peradilan khusus ini seyogianya tidak hanya dibentuk untuk penyelesaian sengketa hasil pilkada semata, melainkan juga harus diformat sebagai sebuah peradilan pemilu yang berwenang menyelesaikan semua sengketa pemilu dan pilkada, kecuali sengketa hasil pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD yang tetap menjadi kewenangan MK. Dengan demikian, hanya akan ada dua peradilan yang terlibat dalam penyelesaian perselisihan terkait proses maupun hasil pemilu dan pilkada, yaitu MK untuk penyelesaian sengketa hasil pemilu, dan peradilan pemilu yang akan menyelesaian sengketa pemilu (proses saja) dan sengketa pilkada (proses maupun hasil).

3.      R. Nazriyah (2015) tentang “Penyelesaian Sengketa Pilkada Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013” Dalam penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Melalui putusan nomor 97/PUU/XI/2013 Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangannya untuk menangani sengketa Pilkada dengan pertimbangan bahwa, “... pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung...”. Kewenangan untuk mengadili sengketa pilkada selama belum ada undang-undang yang mengaturnya tetap berada di tangan MK. Alasannya agar tidak ada keragu-raguan, ketidakpastian hukum, dan kevakuman lembaga yang menyelesaikan sengketa pilkada. Lembaga yang dianggap paling pas menangani sengketa Pilkada adalah Mahkamah Agung dengan mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi di tiaptiap daerah. Jika pihak yang berperkara tidak puas dengan putusan Pengadilan Tinggi maka, dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung. Sementara UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, masih menyerahkan kepada Mahkamah Konstitusi (meski sifatnya sementara) untuk menyelesaikan sengketa Pilkada. Untuk itu, perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa Pilkada.

 

 

 

 

 

 

 

 

C.    METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian di bidang hukum, yang berkontribusi pada pengembangan keilmuan dan perbaikan praktik hukum ditengah-tengah masyarakat, terutama dalam penegakan etika profesi hakim konstitusi bagi pejabat-pejabat negara, sekaligus merekonstruksi kelembagaan peradilan yang ideal. Penelitian hukum normatif

dilakukan untuk menggali data sekunder dengan (1) pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang memfokuskan pada regulasi-regulasi yang mengatur etika dan

penegakkannya; dan (2) pendekatan kasus (case approach) memfokuskan pada pembahasan kasus-kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh pejabat negara. Pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi kepustakaan (library research) yang menelaah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif, deskriptif kualitatif yang dimaksudkan agar peneliti mampu melakukan konstruksi ketentuan etika yang ideal dan membangun peradilan etik yang independen dan imparsial.

Pendekatan analisa secara deskriptif kualitatif dilakukan dengan melakukan penyeleksian data diperoleh, baik data primer maupun data sekunder. Hasil penyeleksian data akan dimasukkan dalam sub bahasan analisis. Data-data yang telah disistematisasi, kemudian dianalisis secara komprehensif berdasarkan fokus kajian yang akan dijawab dalam penelitian ini.

D.    HASIL PENELITIAN

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilukada Mahkamah Konstitusi selain bertindak sebagai pengawal konstitusi juga adalah sebagai pengawal demokrasi. Kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu yang dimandatkan oleh konstitusi mencerminkan bahwa MK adalah pengawal demokrasi. Dalam setiap melakukan tugasnya untuk menyelesaikan sengketa pemilu mekanisme yang digunakan didasarkan atas Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Dalam menjalankan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pemilu, MK menerapkan mekanisme peradilan cepat atau speedy trial, sesuai yang tercantum dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa: Peradilan perselisihan hasil Pemilukada bersifat cepat dan sederhana, sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.” Mekanisme speedy trial yang juga diamanatkan dalam UU ini, mengharuskan MK untuk menyelesaikan sengketa dalam waktu 14 hari kerja, keputusan penyelesaian perselisihan ini dilakukan melalui mekanisme atau proses persidangan. Dalam proses persidangan yang sangat singkat ini hakim konstitusi dituntut untuk menilai seluruh alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Pemeriksaan alat bukti ini menjadi hal yang sangat krusial, karena dari alat bukti ini inilah MK dapat menjatuhkan putusan.[6]

Dalam melakukan permohonan untuk menggugat hasil pemilukada pemohon harus memberikan uraian yang jelas mengenai kesalahan hasil pemilukada yang dilakukan oleh Termohon, permintaan untuk membatalkan keseluruhan atau sebagian hasil penghitungan suara, dan juga permintaan untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang dianggap benar oleh pemohon. Hal ini ditujukan untuk membuktikan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh termohon. Selanjutnya setelah dilewatinya tahap pemohonan pembatalan hasil penghitungan suara Pemilukad dan registrasi perkara, tahap selanjutnya adalah melakukan persidangan. Dalam persidangan ini agenda terpenting yang dilakukan menyangkut pembuktian yang dilakukan oleh pemohon. Selain itu untuk kepentingan pembuktian, MK dapat melakukan persidangan jarak jauh (video conference), hal ini karena luasnya cakupan sengketa yang menjadi domain MK. Untuk kepentingan pemeriksaan juga, MK dapat melakukan putusan sela yang terkait dengan perhitungan suara ulang. Selain itu terdapat faktor lain yang juga berpengaruh dalam mekanisme penyelesaian sengketa Pemilukada terletak pada keyakinan Hakim Konstitusi berdasarkan alat bukti yang menjadi penentu dalam proses pengambilan keputusan. Namun, sebagian kalangan menilai bahwa faktor keyakinan Hakim Konstitusi ini telah menghasilkan keputusan yang tergolong kontroversial. Dianggap demikian karena Fajar Kuala Nugraha, Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 66 Permohonan Ditolak Dilakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat waktu pengajuan Putusan Putusan diumumkan 14 hari sejak tercatat di dalam Buku Perkara Konstitusi (BRPK) Permohonan Diterima Dimasukkan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Pengajuan Permohonan Pengajuan dilakukan Paling lambat 3 hari setelah hasil Pemilukada ditetapkan Rapat Permusyawaratan Hakim Rapat yang dilakukan para hakim untuk untuk mengambil keputusan hakim untuk Panel Hakim dan sekurang-kurangnya 7 hakim untuk Pleno Hakim atas sekurang-kurangnya 3 Sidang terdiri Pemeriksaan Persidangan keyakinan Hakim Konstitusi telah menciptakan norma hukum baru, yaitu dengan memaknai dan memberikan pandangan hukum melalui putusan-putusan yang dikeluarkan dalam perkara Pemilukada dengan memberikan tafsiran yang lebih luas demi menegakkan keadilan. [7]

Mahkamah Konstitusi juga membagi tiga jenis pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilukada yakni, pertama pelanggaran tentang persyaratan dalam keikutsertaan Pemilukada yang bersifat prinsip dan dapat diukur (hal ini dapat berupa syarat tidak pernah dijatuhi hukuman pidana dan syarak keabsahan dukungan bagi calon independen). Kedua, pelanggaran dalam proses pelaksanaan Pemilukada yang tidak berpengaruh langsung terhadap hasil suara seperti contohnya seperti pembuatan baliho, penggunaan lambang pada kertas simulasi dan alat peraga yang tidak sesuai dengan perundang-undangan Pemilukada. Ketiga, pelanggaran pemilukada seperti tren-tren kasus sengketa Pemilukada yang dijelaskan diatas (money politics, keterlibatan PNS, dugaan pidana dan sebagainya). Pelanggaran ini dapat membatalkan hasil suara Pemilukada sepanjang pelanggaran terebut memiliki pengaruh signifikan terhadap perolehan suara pemilukada dan terjadi secara sistemati s, terstruktur, dan masif (STM). Kesemua bentuk pelanggaran ini ukurannya telah dijelaskan dan ditetapkan dalam berbagai putusan MK.[8]

Tabel Sengketa Pemilu yang Diutus MK.[9]

No

Tanggal Putusan

Pemohon

Pokok Perkara

Amar Putusan

1.

10-12-2008

Hj. Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono

Pilkada Provinsi Jawa Timur

Dikabulkan sebagian, antara lain :

a.       Pemungutan suara ulang

b.      Penghitungan suara ulang.

2.

11-12-2008

Drs. Daniel A. Banunaek, MA dan Drs. Alexander Nakamnau

Kabupaten Timor Tengah Selatan

Dikabulkan sebagian, antara lain: a. Pemungutan suara ulang b. Penghitungan suara ulang.

3.

16-12-2008

Ir. Roy Mangotang Sinaga dan Djujung Pangondian Hutauruk

Tapanuli Utara

Dikabulkan sebagian, antara lain: Pemungutan suara ulang

4.

08-01-2009

H. Rescan Effendi dan Dr. Drh. Rohidin Mersyah, MMA

Kabupaten Bengkulu Selatan

Dikabulkan sebagian antra lain: a. Batal pemilukada b. Pemungutan suara ulang kecuali nomer urut 7

5.

03-06-2010

Drs. I.B.M. Brahmanputra, S.SOS., MM dan Iwayan Winurja, S.H.

Kabupaten Bangli

Putusan sela berupa pemungutan suara ulang

6.

11-06-2010

Ir. H. Umar Zunaidi Hasibuan, MM dan H. Irham Taufik, S.H., MAP.

Kota Tebing Tinggi

Dikabulkan sebagian antara lain: Pemungutan suara ulang, kecuali pihak terkait

7.

14-06-1010

H. Surunuddin Dangga,MBA dan Drs. H. Muchtar Silondae, Msi

Kabupaten Konawe Selatan

Dikabulkan sebagian antara lain: Pemungtan suara ulang disetiap TPS

8.

21-06-2010

Jarot Winarno dan Kartius

Kabupaten Sintang Tempunak

Putusan sela berupa pemungutan suara ulang dan pemungutan suara ulang

9.

17-06-2010

Ir. H. Suhandoyo SP dan Dra. Hj. Kartika Hidayati, MM

Kabupaten Lamongan

Dikabulkan sebagian yaitu Putusan Sela berupa penghitungan suara ulang

10.

24-06-2010

H. Sambali Halim Radianto dan H. Moh. Qosim

Kabupaten Gresik

Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang

11.

30-06-2010

Drs. Arif Afandi, M.Si dan Ir. Adies Kadir, S.H., M.Hum.

Kota Surabaya

Putusan Sela berupa penghitungan surat suara ulang dan pemungutan suara ulang

12.

06-07-2010

H. Indra Porkas Lubis, M.A., dan H. Firdaus Nasution (Nomor urut 7)

Kabupaten Mandailing Natal

Dikabulkan yaitu pemungutan suara ulang seluruhnya

13.

07-07-2010

H. Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto

Kabupaten Kotawaringin Barat

Dikabulkan berupa Pendiskualifikasian dan penetapan salah satu pasangan calon

14.

10-08-2010

H. Reskan Effendi dan Rohidin Mersyah

Kabupaten Bengkulu Selatan

Dikabulkan berupa penetapan pasangan calon terpilih

15.

13-08-2010

Parhan Ali dan Erwan

Kabupate Bangka

Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang

16.

02-09-2010

Linneke Syennie Watoelangkow, S.Sos dan Ir. Jimmy Stefanus Wewengkang, MBA

Kota Tomohon

Dikabulkan sebagian yakni Putusan Sela berupa penghitungan surat suara ulang dan pemungutan suara ulang.

17.

03-09-2010

Hanny Joost Pajouw, S.E.,Ak., ME dan Drs. Hj. Anwar Panawar (No.Urut 5)

Kota Manado

Dikabulkan sebagian yakni Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang

18.

02-09-2010

Francisca M. Tuwaidan dan Ir. Willy E.C Kumentas (No. Urut.4)

Kabupaten Minahasa Utara

Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang

19.

09-12-2010

Frederikus Gebze, SE dan Waryoto, M.Si(calon No. Urut 1), Laurensius Gebze, S. Sos dan Drs. H. Acnan Rosyadi (Calon No Urut 2), Daniel Walinaulik, S.Sos dan Ir. Omah Laduani Ladamay, M.Si (Calon No. Urut 20)

Kabupaten Merauke

Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang

20.

02-12-2010

Muh. Amin, S.H.MSI dan Nurdin Ranggabarani, S.H., M.H

Kabupaten Sumbawa

Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang

21.

14-12-2010

Ir. H. Darwin Zulad, M.Si. dan H.M. Syarifuddin Harahap (Pasangan Calon Nomor urut 3)

Kota Tanjung Balai

Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang

22.

06-20-2010

Drs. Nataniel Dominggus Mandacan, M.Si dan Wempi Welly Rengkung, S.E

Kabupaten Manokwari

Dikabulkan berupa penetapan suara yg benar

23.

19-10-2010

Julianus Mnusefer, S.Si, Th, MAP dan Theodorus Kawer, SIP

Kabupaten Supiori

Dikabulkan berupa pembatalan dan penetapan salah satu pasangan calon pada putaran kedua

24.

18-11-2010

Hj. Erna Narulita, SE., MM dan H. Apud Mahpud

Kabupaten Pandeglang

Dikabulkan sebagian berupa pemungutan suara ulang

25.

25-11-2010

1.Drs. H. Abdul Hamid Basir dan Drs. H. Tamrin Pawani (pasangan calon nomor urut 2) 2.Ir. Mustari, MBA, M.Si dan H. Muh. Nur Sinapoy, SE, M.Si (pasangan Calon nomor urut 3) 3.Apoda, SE, MP dan Drs. Kahar, M,Pd (nomor urut 4) 4.Herry Asiku, SE dan Drs. Andhy Beddu. D (nomor urut 6) 5.H. Herry Hermansyah Silondae, SE dan Ir. Andi syamsul Bahri, M.Si (nomor urut 7) 6.Ir. Slamet riadi dan H. Rudin Lahadi (nomor urut 8

Kabupaten Konawe Utara

Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang

26.

25-11-2010

Hendrik Worumi, S.Sos, M.Si dan Penen Ifi Kogoya, S.Pd, MM

Kota Jayapura

Dikabulkan sebagian berupa legal standing bakal calon dan Pemilukada ulang

27.

10-12-2010

Drs. H. Arsid, M. Si dan Andreas Taulany (nomor urut 3)

Kota Tangerang Selatan

Dikabulkan sebagian berupa pemungutan suara ulang

28.

04-03-2010

Ir. Zainudin Boy, MM dan Yahnis M. Lesnussa, SE (nomor Urut 4)

Kabupaten Buru Selatan Tahun 2010

Putusan Sela berupa pemungutan suara ulang

29.

30-12-2010

Petrus Yoram Mambai

Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2010

Dikabulkan sebagian berupa Pemilukada ulang dengan terlebih dahulu melakukan verifikasi administrasi dan faktual terhadap seluruh pasangan calon.

30.

20-12-2010

Ir. Marinus Worabay dan Bolly Frederik

 

 

 

E.     PENUTUP

Peranan kode etik hakim mahkamah konstitusi terkait perselisihan sengketa pemilu ini sangat urgen dengan menjamurnya pelanggaran kode etik yang melibatkan pejabat negara didalam nya, apalagi selama ini tidak adanya standar ketentuan etika yang menjadi panduan perilaku pejabat negara. Sebagian lembaga etik masih berada pada cengkeraman lembaga negara yang menaunginya dan masih menempatkannya pada posisi di bawah pimpinan lembaga negara, sehingga intervensi kepentingan sangat mungkin dilakukan. Peranan kode etik hakim mahkamah konstitusi terkait perselisihan sengketa pemilu memiliki relevansi dengan upaya memperkuat integritas hakim MK. Penegakan hukum dalam suatu negara itu tergantung pada kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial yang didasarkan atas sikap jujur dan integritas para hakimnya. Oleh karena itu, upaya untuk menjaga dan memperkuat integritas hakim MK merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Penguatan integritas ini sejalan dengan amanat konstitusi yang mensyaratkan bahwa seorang hakim konstitusi haruslah sosok yang mempunyai integritas. Rekonstruksi kedudukan dan kewenangan Dewan Etik Hakim Konstitusi ini nantinya diarahkan untuk memperkuat integritas hakim MK melalui penegakan kehormatan, keluhuran martabat serta kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi.

F.     DAFTAR PUSTAKA

Ansori, M. (2019). Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Di Indonesia. wajah Hukum, 3, 78-79.

Bisariyadi. (2012). Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional. Jurnal Konstitusi, 539.

Fajar, K. N. (2016). Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Transformative, 67-69.

Harun, R. (2016). Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Jurnal Konstitusi, Volume 13 Nomor.1, 2-3.

Satrio, A. (2015). Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization of Politics. Jurnal Konstitusi, Volume 12 Nomor.1 , 4-5.

Zoelva, H. (2013). Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Volume 10 Nomor 3., 1-3.

 

 



[1]Hamdan Zoelva, “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume.10 Nomor.3 (2013), 1-3.

[2] Abdurrachman Satrio, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hail Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization Of Politics”, Jurnal Konstitusi, Volume 12 Nomor.1 (2015), 4-5.

[3] Refly Harun, “Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum”, Jurnal Konstitusi Volume 13 Nomor.1 (2016), 2-3.

[4] Bisariyani, “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional “, Jurnal Konstitusi Volume 9 Nomor 3 (2012)hlm 539

[5] Mhd.Ansori, Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Di Indonesia, Jurnal Wajah Hukum Volume 3 (2019),hlm 78-79.

[6] Kuala Nugraha Fajar, Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada), Transformative, 2016, hlm 65

[7] Kuala Nugraha Fajar, Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada), hlm 65-66

[8] Kuala Nugraha Fajar, Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada), hlm 66

 

[9] Kuala Nugraha Fajar, Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada), hlm 67-69

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar