ANALISIS
TERHADAP ETIKA PROFESI HAKIM
MAKALAH
Diajukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi Hakim yang diampu oleh : Dr. Nandang
Ihwanudin, S.Ag., M.E.Sy.
Oleh :
Octapiyanti Nurhidayati (10010118058)
Sofie Purwanti (10010118061)
Yusrina Mardhiyah Sabila (10010118063)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan mengucapkan puji dan
syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada pujaan hati kita Baginda
Nabi Muhammad SAW yang memperjuangkan kita sebagai umatnya untuk membimbing
kita ke jalan yang rohmatan
lil-aalamiin.
Kelompok 3 mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata Etika Profesi Hukum tentang
“Analisis Terhadap Etika Profesi Hakim”.
Kelompok 3 juga mengucapkan banyak terima
kasih kepada Dosen mata kuliah Etika Profesi Hukum yang telah memberi kami
ilmu sehingga kami dapat menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat. Terima kasih.
Bandung, 9
November 2020
Kelompok 3
DAFTAR ISI
2.1. Pengertian Etika,
Profesi, dan Hakim
2.2. Tugas, Fungsi dan
Tanggung Jawab Hakim
2.3. Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Hukum merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat manusia sehingga di dalam
masyarakat selalu ada sistem hukum, ada masyarakat ada norma hukum (ubi
societas ibi ius). Hal tersebut dimaksudkan oleh Cicero bahwa tata hukum harus
mengacu pada penghormatan dan perlindungan bagi keluhuran martabat manusia.
Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan antara kepentingan atau hasrat
individu yang egoistis dan kepentingan bersama agar tidak terjadi konflik.
Kehadiran hukum justru mau menegakkan
keseimbangan perlakuan antara hak perorangan dan hak bersama. Oleh karena itu,
secara hakiki hukum haruslah pasti dan adil sehingga dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Hal tersebut menunjukkan pada hakikatnya para penegak
hukum (hakim, jaksa, Notaris, Advokat, dan polisi) adalah pembela kebenaran dan
keadilan sehingga para penegak hukum harus menjalankan dengan itikad baik dan
ikhlas, sehingga profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur (officium
nobile). Oleh karena itu mulia dan terhormat, profesional hukum sudah
semestinya merasakan profesi ini sebagai pilihan dan sekaligus panggilan
hidupnya untuk melayani sesama di bidang hukum.
Kewenangan hukum adalah hak seorang individu
untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh
individu lain dalam suatu kelompok tertentu. Penegak hukum mempunyai batas
kewenangan profesi hukum seperti batas kewenangan hakim, notaris, jaksa,
advokat dan lain-lain.
1.2.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
Definisi Etika, Profesi dan Hakim?
2.
Apa saja
Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim?
3.
Apa saja
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim?
1.3.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk
mengetahui dan memahami definisi etika,
profesi, hakim.
2.
Untuk
mengetahui dan memahami Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim.
3.
Untuk
mengetahui dan memahami kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Etika, Profesi, dan
Hakim
1.
Etika
Secara etimologi kata
“etika” berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu Ethos dan
ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethiko
sberarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik.[1]
Istilah moral berasal dari kata latin yaitu mores, yang merupakanbentuk jama‟
dari mos,yang berarti adat istiadat atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan
cara hidup.[2]
Sedangkan dalam bahasa Arab kata etika dikenal dengan istilah akhlak, artinya
budi pekerti. Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut tata susila.[3]
Etika adalah
gambaran umum rasional
mengenai hakekat dan
dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang
menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral
diperintahkan dan dilarang. Oleh
karena itu penelitian
etika selalu menempatkan
tekanan khusus terhadap definisi konsep-konsep etika,
justifikasi, dan penelitian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan
antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk.[4]
K Bertens dalam buku
etikanya menjelaskan lebih jelas lagi. Etika berasal dari bahasa Yunani kuno.
Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak
arti: tempat tinggal
yang biasa; padang
rumput; kandang; kebiasaan, adat;
akhlak, watak; perasaan,
sikap, cara berpikir. Dalam bentuk
jamak artinya adalah
adat kebiasaan. Dalam
arti ini, etika berkaitan dengan
kebiasaan hidup yang
baik, tata cara
hidup yang baik, baik
pada diri seseorang
atau kepada masyarakat.[5]
Kebiasaan hidup
yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.
Kebiasaan hidup yang
baik ini lalu
dibekukan dalam bentuk kaidah, aturan atau
norma yang di
sebarluaskan, dikenal, dipahami,
dan diajarkan secara lisan
dalam masyarakat.Kaidah, norma
atau aturan ini pada
dasarnya, menyangkut baik-buruk
perilaku manusia. Atau,
etika dipahami sebagai ajaran
yang berisikan perintah
dan larangan tentang baik-buruknya perilaku
manusia, yaitu perintah
yang harus dipatuhi
dan larangan yang harus dihindari.[6]
Etika sering diidentikkan dengan moral
(atau moralitas). Namun, meskipun sama-sama
terkait dengan baik-buruk
tindakan manusia, etika dan
moral memiliki perbedaan
pengertian. Moralitas lebih
condong pada pengertian nilai
baik dan buruk
dari setiap perbuatan
manusia itu sendiri, sedangkan etika
berarti ilmu yang
mempelajari tentang baik
dan buruk. Jadi bisa
dikatakan, etika berfungsi
sebagai teori tentang
perbuatan baik dan buruk.
Dalam filsafat terkadang
etika disamakan dengan
filsafat moral.[7]
Etika membatasi
dirinya dari disiplin ilmu
lain dengan pertanyaan apa itu
moral? Ini merupakan
bagian terpenting dari
pertanyaan-pertanyaan seputar etika.
Tetapi di samping
itu tugas utamanya
ialah menyelidiki apa yang
harus dilakukan manusia.
Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada,
sedangkan filsafat etika membahas yang harus dilakukan.[8]
Secara terminology etika
bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau
kata lainnya ialah
teori tentang nilai.
Dalam Islam teori
nilai mengenal lima
kategoribaik-buruk, yaitu baik
sekali, baik, netral,
buruk dan buruk sekali. Nilai ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhan adalah
maha suci yang bebas dari noda apa pun jenisnya.[9]
2.
Profesi
Perkataan profesi dan
profesional sudah sering digunakan dan mempunyai beberapa arti. Dalam
percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk
memperoleh nafkah (Belanda: baan; Inggris: jobatau
occupation), yang legal maupun yang tidak. Jadi, profesi diartikan sebagai
setiap pekerjaan untuk memperoleh uang. Dalam arti yang lebih teknis, profesi
diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah yang
dilaksanakan secara berkeakhlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil
karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi. Keakhlian
tersebut diperoleh melalui proses pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan
(tinggi) tertentu, latihan secara intensif, atau kombinasi dari semuanya itu.
Dalam kaitan pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan
profesionalisme sebagailawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia
olah-raga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai
lawan dari pekerjaan sambilan.
Dalam uraian
Ignas Kleden tentang
pengertian profesional tersirat
(atau dapat disimpulkan) pengertian profesi
sebagai pekerjaan tetap dalam
bidang tertentu yang
dijalankan secara berkeahlian berdasarkan penguasaan
ilmu, jadi dengan
menerapkan ilmu, tertentu
sehinggamampu menawarkan dan memberikan jasa yang bermutu tinggi yang
sudah teruji secara ilmiah, dengan bayaran tinggi sesuai dengan mutu karya dan
hasilnya yang ditawarkan itu. Pandangan ini
tampaknya cocok untuk
masyarakat yang tatanan ekonominya menganut kapitalisme.
3.
Hakim
Hakim berasal
dari kata semakna dengan qâdhi yang berasal dari kata artinya memutus. Sedang kan menurut bahasa
adalah orang yang bijaksana atau
orang yang memutuskan
perkara dan menetapkannya. Adapun
pengertian menurut syara’ yaitu
orang yang diangkat
oleh kepala negara
untuk menjadi hakim
dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam
bidang hukum perdata
oleh karena penguasa
sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
Sebagaimana pernah dipraktikkan oleh nabi Muhammad ketika mengangkat
qâdhi untuk bertugas
menyelesaikan sengketa di
antara manusia di
tempat-tempat yang jauh,
sebagaimana ia telah
melimpahkan wewenang ini
pada sahabatnya. Hal
ini terjadi pada
sahabat dan terus berlanjut pada
Bani Umayah dan Bani Abbasiah. Akibat dari semakin luasnya wilayah Islam dan
kompleknya masalah yang terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan
hakim-hakim untuk menyelesaikan
setiap perkara yang
terjadi di masyarakat.[10]
Hakim merupakan unsur
utama dalam pengadilan. Bahkan ia identik dengan pengadilan itu sendiri.
Kebebasan kekuasaan kehakiman sering kali diidentikkan dengan kebebasan hakim.
Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh
karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan
kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.[11]
Hakim adalah figur
sentral dalam proses peradilan, senantiasa dituntut untuk
membangun kecerdasan intelektual, terutama kecerdasan emosinal,
kecerdasan moral dan
spiritual, jika kecerdasan intelektual, emosional,
dan moral spiritual
terbangun dan tepelihara dengan baik
bukan hanya akan
memberikan manfaat kepada
diri sendiri, tetapi juga
akan memberikan manfaat
bagi masyarakat dalam konteks penegakan hukum.[12]
Seorang hakim
harus berpedoman pada
norma etik / moralitas
yang secara inheren sesuai dengan nilai-nilai
etika Islam. Berhubungan dengan
etika hakim, Abdul Manan berpendapat, bahwa hakim sebagai corong keadilan
haruslah selalu menjaga segala tingkah lakunya (baik kebersihan pribadi ataupun
perbuatannya). Hakim harus tidak boleh
terpengaruh dengan keadaan
di sekelilingnya atau tekanan dari siapa
pundalam mengeluarkan
putusan. Hakim harus
menjauhkan diri dari keadaan
yang dapat memengaruhi mereka
di dalam menegakkan
keadilan, baik di dalam pengadilan ataupun di
luar pengadilan.[13]
Oleh karenanya, jumhur fuqaha mensyaratkan seorang
hakim harus seseorangyang adil, yakni benar percakapannya, dhahir iman
hatinya, selalu menjaga muru’ahnya, tidak
melakukan perbuatan yang
haram, dan dapat
dipercayabaik di kala gembira
maupun dalam keadaan marah.[14]
2.2. Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab
Hakim
Dalam menjalankan
tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan
terlepas dari pengaruh
pemerintah dan pengaruh lainnya. Hakim menjadi tumpuan
dan harapan bagi
pencari keadilan. Hakim
juga memiliki kewajiban ganda, di satu pihak merupakan pejabat yang
ditugasi menerapkan hukum (izhâr al-hukm)
terhadap perkara yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis
maupun tidak tertulis, di lain pihak sebagai penegak hukum dan keadilan
dituntut untuk dapat menggali, memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Secara makro dituntut untuk
memahami rasa hukum
yang hidup di
dalam masyarakat.[15]
Dalam
undang-undang disebutkan tugas pengadilan
tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu
perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya. Artinya, hakim sebagai
unsur pengadilan wajib
menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat tersebut seperti persepsi masyarakat tentang keadilan,
kepastian, hukum dan kemanfaatan. Hal ini menjadi tuntutan
bagi hakim untuk
selalu meningkatkan kualitasnya
sehingga dalam memutuskan perkara benar-benar berdasarkan
hukum yang ada
dan keputusannya dapat
dipertanggungjawabkan.[16]
Dalam
menyelesaikan suatu perkara ada beberapa
tahapan yang harus
di lakukan oleh
hakim diantaranya mengkonstatir
yaitu yang dituangkan
dalam Berita Acara
Persidangan dan dalam
duduknya perkara pada
putusan hakim. Mengkonstatir ini
dilakukan dengan terlebih
dahulu melihat pokok
perkara dan kemudian
mengakui atau membenarkan
atas peristiwa yang
diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian terlebih
dahulu. Selain itu
mengkualifisir, yaitu yang
dituangkan dalam pertimbangan
hukum dalam surat
putusan. Ini merupakan
suatu penilaian terhadap
peristiwa atas bukti-bukti,
fakta-fakta hukum dan
menemukan hukumnya. Dan
terakhir adalah mengkonstituir, yaitu
yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga ini
merupakan penetapan hukum
atau merupakan pemberian
konstitusi terhadap perkara.[17]
Tahapan-tahapan tersebut
menuntut hakim untuk jeli dan
hati-hati dalam mem-berikan keputusan sekaligus
menemukan hukumnya, karena
pada dasarnya hakim
dianggap mengetahui hukum
dan dapat mengambil
keputusan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
keyakinannya sesuai dengan doktrin
Curia Ius Novit. Hal
ini dijelaskan dalam
undang-undang bahwa hakim
tidak boleh menolak
perkara yang diajukan
kepadanya untuk diperiksa
dan diputus, dengan alasan bahwa
hukum yang ada tidak ada
atau kurang jelas.[18]
Sementara fungsi
hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguhnya dari apa
yang dikemukakan dan
dituntut oleh para
pihak tanpa melebihi
atau menguranginya terutama
yang berkaitan dengan
perkara perdata, sedangkan
dalam perkara pidana
mencari kebenaran sesungguhnya
secara mutlak tidak
terbatas pada apa
yang telah dilakukan oleh terdakwa, melainkan dari itu
harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa. Artinya,
hakim mengejar ke-benaran
materil secara mutlak
dan tuntas. Dan tugas hakim adalah melaksanakan semua
tugas yang menjadi
tanggung jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua
perkara yang masuk
baik perkara tersebut
telah di atur dalam Undang-undang maupun yang tidak
terdapat ketentuannya. Dengan
demikian, terlihat dalam
menjalankan tanggung jawabnya
hakim harus bersifat
obyektif, karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk undang-undang
untuk memeriksa dan mengadili perkara,
dengan penilaian yang
obyektif pula karena
harus berdiri di
atas kedua belah pihak yang berperkara dan tidak boleh
memihak salah satu
pihak.[19]
2.3. Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim
Pada tanggal 8
April Desember 2009, Ketua Mahkamah Agung dan
Ketua Komisi Yudisial membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode
Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim. Surat Keputusan
Bersama ini mengatur tentang
prinsip-prinsip dasar Kode
Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim yang terdiri dari 10 (sepuluh)
aturan perilaku yaitu:
(1) Berperilaku Adil,
(2) Berperilaku jujur, (3)
Berperilaku Arif dan
Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5)
Berintegrasi Tinggi, (6)
BertanggungJawab, (7) Menjunjung
Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, dan
(10) Bersikap Professional. Kesepuluh
prinsip etiktersebut dalam implementasinya dapat dijelaskan sebagai berikut:[20]
1.
Berperilaku
Adil
Adil
bermakna menempatkan sesuatu
pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu prinsipbahwa
semua orang sama
kedudukannya di depan
hukum. Dengan demikian, tuntutan
yang paling mendasar
dari keadilan adalah memberikan perlakuan
dan memberi kesempatan
yang sama (equality and fairness)
terhadap setiap orang. Seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi
di bidang peradilan
yang memikul tanggung
jawab menegakkan hukum yang
adil dan benar
harus selalu berlaku
adil dengan tidak membeda-bedakan orang.Adil
dalam penerapannya adalah bahwa:
a.
Hakim wajib
melaksanakan tugas-tugas hukumnya
dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan.
b.
Hakim wajib
tidak memihak, baik
di dalam maupun
di luar pengadilan dan
tetap menjaga serta
menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
c.
Hakim
wajib menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan haknya untuk
mengadili perkara yang bersangkutan.
d.
Hakim dilarang
memberikan kesan bahwa
salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya
termasuk penuntut dan[21]
saksi berada dalam
posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang
bersangkutan.
e.
Hakim dalam
menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa
suka atau tidak
suka, keberpihakan,
prasangka, atau pelecehan
terhadap suatu ras,
jenis kelamin, agama, asalkebangsaan, perbedaan
kemampuan fisik atau mental,
usia atau status
sosial ekonomi maupun
atas dasar kedekatan hubungan
dengan pencari keadilan
atau pihak-pihak yang
terlibat dalam proses
peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan.
f.
Hakim dalam
suatu proses persidangan
wajib meminta kepada semua pihak
yang terlibat proses persidangan.
g.
Hakim dilarang
bersikap, mengeluarkan perkataan
atau melakukan tindakan lain
yang dapat menimbulkan
kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau
kuasanya, atau saki-saksi,
dan harus pula menerapkan standar
perilaku yang sama
bagi advocat, penuntut, pegawai
pengadilan atau pihak
lain yang tunduk pada arahan dan pengawasan hakim yang
bersangkutan.
h.
Hakim harus
memberikan keadilan kepada
semua pihak dan tidak beritikad
semata-mata untuk menghukum.
i.
Hakim dilarang
menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain
untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol
jalannya sidang, sehingga
menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan
perkara.
j.
Hakim
mendengar Kedua Belah Pihak.
k.
Hakim harus
memberikan kesempatan yang
sama kepada setiap orang
khususnya pencari keadilan
atau kuasanya yang mempunyai kepentingan
dalam suatu proses
hukum di Pengadilan.[22]
2.
Berperilaku
Jujur
Kejujuran bermakna dapat dan berani
menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran
mendorong terbentuknya pribadi yang
kuat dan membangkitkan
kesadaran akan hakekat yang
hak dan yang
batil. Dengan demikian,
akan terwujud sikap pribadi
yang tidak berpihak
terhadap setiap orang baik
dalam persidangan maupun diluar persidangan. Prilaku jujur hakim
tercermin dalam sikap:
a.
Hakim harus
berperilaku jujur (fair)dan menghindari perbuatan yang
tercela atau yang
dapat menimbulkan kesan tercela.
b.
Hakim harus
memastikan bahwa sikap,
tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar
pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak
hukum lain serta
para pihak berperkara,
sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim
dan lembaga peradilan (impartiality).
c.
Hakim tidak
boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau
istri Hakim, orang
tua, anak, atau
anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji,
hadiah, hibah, warisan,
pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas
dari:(a). Advokat;(b). Penuntut;(c). Orang yang sedang diadili;(d).
Pihak lain yang kemungkinkan kuat
akan diadili;dan (e).
Pihak yang memiliki
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara
yang sedang diadili atau
kemungkinan kuat akan
diadili oleh[23]
Hakim yang bersangkutan yang
secara wajar (reasonable) patut dianggap
bertujuan atau mengandung
maksud untuk mempengaruhi Hakim
dalam menjalankan tugas peradilannya.
3.
Berperilaku
Arif dan Bijaksana
Arif
dan bijaksana bermakna mampu bertindak
sesuai dengan norma-norma yang
hidup dalam masyarakat baik
norma-norma hukum,
norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan
memperhatikan situasi dan
kondisi pada saat
itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang
arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas,
mempuyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun. Arif
dan bijaksana dalam Penerapannya:
a.
Hakim
wajib menghindari tindakan tercela.
b.
Hakim, dalam
hubungan pribadinya dengan
anggota profesi hukum lain
yang secara teratur
beracara di pengadilan, wajib
menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.
c.
Hakim
dilarang mengadili perkara di manaanggota keluargahakim yang bersangkutan
bertindak mewakili suatu pihak[24]
yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara
tersebut.
d.
Hakim
dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu
profesi hukum untuk menerimaklien atau menerima anggota-anggota lainnya dari
profesi hukum tersebut.
e.
Hakim dalam
menjalankan tugas-tugas yudisialnya
wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya.
f.
Hakim dilarang
menggunakan wibawa pengadilan
untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya.
g.
Hakim
dilarang mempergunakan keterangan yang diperolehnya dalam
proses peradilan untuk
tujuan lain yang tdk terkait dengan wewenang dan tugas
yudisialnya.
h.
Hakim dapat
membentuk atau ikut
serta dalam organisasi para hakim
atau turut serta
dalam lembaga yang
mewakili kepentingan para hakim.
i.
Hakim berhak melakukan kegiatan
ekstra yudisial, sepanjang tidak
mengganggu pelaksanaan yudisial, antara lain : menulis, memberi kuliah,
mengajar dan turut
serta dalam kegiatan-kegiatan yang
berkenaan dengan hukum,
sistem hukum, ketatalaksanaan,
keadilan atau hal-hal yang terkait dengannya.
j.
Hakim
dilarang mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat yang dapat
mempengaruhi, menghambat atau
mengganggu berlangsungnya
prosesperadilan yang adil,
independen, dan tidak memihak.
k.
Hakim tidak
boleh memberi keterangan
atau pendapat mengenai substansi
suatu perkara di luar proses
persidangan pengadilan,
baik terhadap perkara
yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain.
l.
Hakim yang
diberikan tugas resmi
oleh Pengadilan dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang
prosedur beracara di Pengadilan
atau informasi lain
yang tidak berhubungan dengan substansi perkara dari
suatu perkara.[25]
m.
Hakim dapat
memberikan keterangan atau
menulis artikel dalam surat
kabar atau terbitan
berkala dan bentuk-bentuk kontribusi lainya yang
dimaksudkan untuk menginformasikan kepada
masyarakat mengenai hukum
atau administrasi peradilan secara
umum yang tidak
berhubungan dengan masalah
substansi perkara tertentu.
n.
Hakim
tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik, atau
pembenaran secara terbuka
atas suatu perkara atau
putusan pengadilan baik
yang belum maupun
yang sudah mempuyai kekuatan
hukum tetap dalam
kondisi apapun.
o.
Hakim
tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik, atau
pembenaran secara terbuka
atas suatu perkara atau putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya
tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan hakim dalam
perkara lain.[26]
4.
Bersikap
Mandiri
Mandiri
bermakna mampu bertindak
sendiri tanpa bantuan pihak lain,
bebas dari campur
tangan siapapun dan
bebas dari pengaruh apapun.Sikap
mandiri mendorong terbentuknya
perilaku Hakim yang tangguh,
berpegang teguh pada
prinsip dan keyakinan atas kebenaran
sesuai tuntutan moral
dan ketentuan hukum
yang berlaku.[27]
5.
Berintegritas
TinggiIntegritas bermakna sikap
dan kepribadian yang
utuh, berwibawa, jujur, dan
tidak tergoyahkan. Integritas
tinggi pada hakekatnya terwujud
pada sikap setia
dan tangguh berpegang
pada[28]
nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan
tugas.Integritas tinggi akan
mendorong terbentuknya pribadi
yang berani menolak godaan dan
segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, serta selalu
berusaha melakukan tugas
dengan cara-cara terbaik
untuk mencapai tujuan terbaik.[29]
6.
Bertanggung
Jawab
Bertanggung
bermakna kesediaan dan
keberanian untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala
sesuatu yang menjadi
wewenang dan tugasnya, serta
memiliki keberanian untuk
menanggung segala akibatatas
pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.
7.
Menjunjung
Tinggi Harga Diri
Harga
diri bermakna bahwa
pada diri manusia
melekat martabat dan kehormatan
yang harus dipertahankan
dan dijunjung tinggi oleh
setiap orang. Prinsip
menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim,
akan mendorong dan
membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk
pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan.
8.
Berdisiplin
Tinggi
Disiplin
bermakna ketaatan pada
norma-norma atau kaidah-kaidah
yang diyakini sebagai
panggilan luhur untuk
mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin
tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi
yang tertib di
dalam melaksanakantugas,
ikhlas dalam pengabdian,
dan berusaha untuk menjadi
teladan dalam lingkungannya, serta
tidak menyalahgunakan amanah yang
dipercayakan kepadanya . Hakim berkewajiban mengetahui dan
mendalami serta melaksanakan
tugas pokok sesuai dengan
peraturan
perundangan-undangan yang berlaku,
khususnya hukum acara, agar
dapat menerapkan hukum
secara benar dan dapat
memenuhi rasa keadilan
bagi setiap pencari
keadilan.Hakimjugaharus
menghormati hak-hak para
pihak dalam proses
peradilan dan berusaha mewujudkan
pemeriksaan perkara secara
sederhana, cepat dan biaya
ringan.
9.
Berperilaku
Rendah Hati
Rendah
hati bermakna kesadaran akan
keterbatasan kemampuan diri, jauh
dari kesempurnaan dan
terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan
mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar,
menghargai pendapat orang lain, menumbuhkembangkan sikap
tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh
rasa syukur dan
ikhlas di dalam mengemban tugas.Hakim
harus melaksananakan pekerjaan
sebagai sebuah pengabdian yang
tulus, pekerjaan Hakim
bukan semata-mata sebagai mata
pencaharian dalam lapangan
kerja untuk mendapat penghasilan materi,
melainkan sebuah amanat
yang akan
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
dan Tuhan Yang
Maha Esa.
10. Bersikap Profesional
Profesional
bermakna suatu sikap
moral yang dilandasi
oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan
yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang
didukung oleh keahlian
atas dasar pengetahuan, keterampilan dan
wawasan luas. Sikap profesional
akanmendorong terbentuknya
pribadi yang senantiasa
menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha
untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja,
sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu
hasil pekerjaan, efektif dan
efisien.Hakim harus mengambil
langkah-langkah untuk
memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi
untuk dapat melaksanakan tugas-tugas
peradilan secara baik.[30]
Pedoman perilaku hakim tersebut, harus
menjiwai para hakim dalam tugas mengadili suatu perkara, agar menghasilkan
putusan yang adil dan benar,
kepastian hukum yang
karenanya akan membawa kemanfaatan (sebuah
putusan yang ideal).
Pedoman perilaku hakim ini,
harus menjadi ruh
dan napas setiap
hakim baik dalam
lingkup kedinasan maupun diluar dinas. Dalam upaya penerapan kode etik
dan perilaku hakim tersebut,
hakim agung harus
mampu melaksanakan perannya karena
hakim penempati posisi
strategis dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Berkaitan dengan
penerapan kode etik
dan pedoman perilaku hakim tersebut, Ahmad
Fauzi,mengumpamakan dengan simbol alam yaitu “astabrata”yang ada kaitannya
dengan tugas para
hakim, yakni: sifat api,
yakni tegas dan bersemangat, sifat angin,
yakni dinamis dan menyegarkan,
sifat awan, yakni
kewibawaan, sifat bintang,
yakni kompas bagi yang tersesat, sifat bulan, yakni penerang kegelapan,
sifat matahari, yakni mencerminkan
kedisiplinan, sifat samudera,
yakni simbol keluasan pikiran. Dalam
penerapan kode etik
dan perilaku hakim,
peran hakim adalah:
1)
Memiliki
dan mampu menempatkan sikap tegas dan independen dalam memutus
suatu perkara, terbebas
dari intervensi pihak manapun.
2)
Mampu menggali
dan memahami nilai-nilai kehidupan masyarakat, agar putusannya
menghasilkan keadilan substantif.
3)
Memiliki sikap
tegas berani mengambil
resiko dari putusannya, independen, dan memperlakukan
secara sama.
4)
Mampu
mewujudkan perilakuyang mencerminkan keteladanan.
5)
Melalui
putusannya mampu menjadi penerang, petunjuk tentang masalah-masalah hukum bagi
para pihak.[31]
6)
Dalam menjalankan
tugas dan dalam
kehidupan sehari-hari
mencerminkan disiplin yang
tinggi tanpa
pamrih, sebagai pengabdian
tertinggi abdi Negara.
7)
Setiap putusannya
menunjukkan kualitas dan
profesionalitas yang
tinggi, menunjukkan luasnya
wawasan hukum yang dimiliki.22Kode etik
profesi hakim sebagaimana
dijelaskan di atas,
pada prinsipnya mengandung nilai-nilai
moral yang mendasari
kepribadian secara
professional, yaitu kebebasan,
keadilan dan kejujuran di
mananilai-nilai tersebut merupakan satu kesatuan yang secara inheren
yang sesuai dengannilai-nilai etika Islam.[32]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.
Etika, Profesi, Hakim
Etika adalah gambaran
umum rasional mengenai
hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar
serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan
tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Oleh karena
itu penelitian etika
selalu menempatkan tekanan
khusus terhadap definisi konsep-konsep
etika, justifikasi, dan penelitian terhadap keputusan moral, sekaligus
membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk.
profesi sebagai pekerjaan tetap
dalam bidang tertentu
yang dijalankan secara
berkeahlian berdasarkan penguasaan ilmu,
jadi dengan menerapkan
ilmu, tertentu sehingga mampu menawarkan dan memberikan jasa
yang bermutu tinggi yang sudah teruji secara ilmiah, dengan bayaran tinggi
sesuai dengan mutu karya dan hasilnya yang ditawarkan itu
Hakim secara bahasa adalah orang
yang bijaksana atau orang yang
memutuskan perkara dan
menetapkannya.
2.
Tugas,
Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim
Dalam menjalankan tugasnya,
hakim memiliki kebebasan untuk
membuat keputusan terlepas dari pengaruh
pemerintah dan pengaruh lainnya. Hakim menjadi tumpuan
dan harapan bagi
pencari keadilan.
Sedangkan Fungsi hakim yaitu menegakkan
kebenaran sesungguhnya dari apa yang
dikemukakan dan dituntut
oleh para pihak
tanpa melebihi atau
menguranginya terutama yang
berkaitan dengan perkara
perdata, sedangkan dalam
perkara pidana mencari
kebenaran sesungguhnya secara
mutlak tidak terbatas
pada apa yang
telah dilakukan oleh terdakwa,
melainkan dari itu harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa.
3.
Kode Etik
dan Pedoman Perilaku
Hakim
Kode
Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim yang terdiri dari 10 (sepuluh)
aturan perilaku yaitu:
a.
Berperilaku Adil.
b.
Berperilaku jujur.
c.
Berperilaku Arif
dan Bijaksana,.
d.
Bersikap Mandiri.
e.
Berintegrasi Tinggi.
f.
BertanggungJawab.
g.
Menjunjung
Tinggi Harga Diri.
h.
Berdisiplin
Tinggi.
i.
Berperilaku
Rendah Hati, dan
j.
Bersikap Professional
DAFTAR PUSTAKA
Aunur Rohim Faqih, M. (2013). KODE ETIK DAN PEDOMAN
PERILAKU HAKIM. Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia , 218.
bagus, L. (2000). kamus filsafat. Jakarta: PT Gramedia pustaka.
Bakry, H. (1978). Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya.
Baqir, H. (2005). Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: Gramedia.
fakhry, M. (1996). Etika Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sarwoko. Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba .
Sonny, K. A. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Zulaikha, S. (2014). ETIKA PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. AL-‘ADALAH
, 90.
[1] Lorens bagus,kamus
filsafat,(Jakarta: PT Gramedia pustaka, 2000), hlm. 217.
[2] Ibid., Hlm 672.
[3] Hasbullah Bakry, Sistematika
Filsafat,( Jakarta: Wijaya, 1978), hlm. 9.
[4] Majid fakhry, Etika Dalam Islam,
alih bahasa Zakiyuddin Baidawi, cet. ke-1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996), hlm.15.
[5] Keraf. A. Sonny.Etika
Lingkungan,(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 2.
[6] Ibid.
[7] Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung : Mizan, 2005), hlm. 189-190.
[8] K Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 27.
[9] Sarwoko, Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan, (Jakarta: Salemba), hlm. 80.
[10] Siti Zulaikha, ETIKA PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM, AL-‘ADALAH Vol. XII No. 1 Tahun 2014, hlm. 90.
[11]
Aunur Rohim Faqih, MH, KODE ETIK
DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia Vol. 3 No. 1
Tahun 2013, hlm. 218.
[12] Ibid., Hlm. 219.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Siti Zulaikha, op. cit. hlm. 91
[16] Ibid.Hlm 92.
[17] Ibid..
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Aunur Rohim Faqih, Op. cit. hlm 225.
[21] Ibid.
[22] Ibid., Hlm 226.
[23] Ibid., Hlm 227.
[24] Ibid., Hlm 228.
[25] Ibid., Hlm. 229.
[26] Ibid., hlm. 230.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid., hlm. 231.
[30] Ibid. Hlm. 232.
[31] Ibid., Hlm. 233.
[32] Ibid., Hlm. 234.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar