Senin, 09 Mei 2022

MAKALAH TENTANG ANALISIS TERHADAP ETIKA PROFESI HAKIM

 

ANALISIS TERHADAP ETIKA PROFESI HAKIM

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi Hakim yang diampu oleh : Dr. Nandang Ihwanudin, S.Ag., M.E.Sy.

 

Oleh :

Octapiyanti Nurhidayati (10010118058)

Sofie Purwanti (10010118061)

Yusrina Mardhiyah Sabila (10010118063)

 

 

 

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

BANDUNG

2020

 

 


KATA PENGANTAR

 

Alhamdulillah, dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada pujaan hati kita Baginda Nabi Muhammad SAW yang memperjuangkan kita sebagai umatnya untuk membimbing kita ke jalan yang rohmatan lil-aalamiin.

Kelompok 3 mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata Etika Profesi Hukum tentang “Analisis Terhadap Etika Profesi Hakim”.

Kelompok 3 juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen mata kuliah Etika Profesi Hukum yang telah memberi kami ilmu sehingga kami dapat menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

 

 

Bandung, 9 November 2020

 

 

Kelompok 3

 

 

 

 

DAFTAR ISI

                                         

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI. ii

BAB I PENDAHULUAN.. 1

1.1.       Latar Belakang. 1

1.2.       Rumusan Masalah. 1

1.3.       Tujuan Masalah. 2

BAB II PEMBAHASAN.. 3

2.1.       Pengertian Etika, Profesi, dan Hakim.. 3

2.2.       Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim.. 7

2.3.       Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.. 9

BAB III PENUTUP. 18

3.1. Kesimpulan. 18

DAFTAR PUSTAKA.. 20

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.            Latar Belakang

Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat manusia sehingga di dalam masyarakat selalu ada sistem hukum, ada masyarakat ada norma hukum (ubi societas ibi ius). Hal tersebut dimaksudkan oleh Cicero bahwa tata hukum harus mengacu pada penghormatan dan perlindungan bagi keluhuran martabat manusia. Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan antara kepentingan atau hasrat individu yang egoistis dan kepentingan bersama agar tidak terjadi konflik.

Kehadiran hukum justru mau menegakkan keseimbangan perlakuan antara hak perorangan dan hak bersama. Oleh karena itu, secara hakiki hukum haruslah pasti dan adil sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hal tersebut menunjukkan pada hakikatnya para penegak hukum (hakim, jaksa, Notaris, Advokat, dan polisi) adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga para penegak hukum harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur (officium nobile). Oleh karena itu mulia dan terhormat, profesional hukum sudah semestinya merasakan profesi ini sebagai pilihan dan sekaligus panggilan hidupnya untuk melayani sesama di bidang hukum.

Kewenangan hukum adalah hak seorang individu untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok tertentu. Penegak hukum mempunyai batas kewenangan profesi hukum seperti batas kewenangan hakim, notaris, jaksa, advokat dan lain-lain.

 

1.2.            Rumusan Masalah

1.      Apa Definisi Etika, Profesi dan Hakim?

2.      Apa saja Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim?

3.      Apa saja Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim?

1.3.            Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui dan memahami  definisi etika, profesi, hakim.

2.      Untuk mengetahui dan memahami Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim.

3.      Untuk mengetahui dan memahami kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1. Pengertian Etika, Profesi, dan Hakim

1.      Etika

Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu Ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethiko sberarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik.[1] Istilah moral berasal dari kata latin yaitu mores, yang merupakanbentuk jama‟ dari mos,yang berarti adat istiadat atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup.[2] Sedangkan dalam bahasa Arab kata etika dikenal dengan istilah akhlak, artinya budi pekerti. Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut tata susila.[3]

Etika   adalah   gambaran   umum   rasional   mengenai   hakekat   dan   dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Oleh  karena  itu  penelitian  etika  selalu  menempatkan  tekanan  khusus  terhadap definisi konsep-konsep etika, justifikasi, dan penelitian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk.[4]

K Bertens dalam buku etikanya menjelaskan lebih jelas lagi. Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai   banyak   arti:   tempat   tinggal   yang   biasa;   padang   rumput; kandang;  kebiasaan,  adat;  akhlak,  watak;  perasaan,  sikap,  cara  berpikir. Dalam  bentuk  jamak  artinya  adalah  adat  kebiasaan.  Dalam  arti  ini,  etika berkaitan  dengan  kebiasaan  hidup  yang  baik,  tata  cara  hidup  yang  baik, baik  pada  diri  seseorang  atau  kepada  masyarakat.[5]

Kebiasaan  hidup  yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Kebiasaan   hidup   yang   baik   ini   lalu   dibekukan   dalam   bentuk kaidah, aturan  atau  norma  yang  di  sebarluaskan,  dikenal,  dipahami,  dan diajarkan  secara  lisan  dalam  masyarakat.Kaidah,  norma  atau  aturan  ini pada  dasarnya,  menyangkut  baik-buruk  perilaku  manusia.  Atau,  etika dipahami  sebagai  ajaran  yang  berisikan  perintah  dan  larangan  tentang baik-buruknya  perilaku  manusia,  yaitu  perintah  yang  harus  dipatuhi  dan larangan yang harus dihindari.[6]

Etika  sering diidentikkan dengan  moral  (atau  moralitas).  Namun, meskipun  sama-sama  terkait  dengan  baik-buruk  tindakan  manusia,  etika dan  moral  memiliki  perbedaan  pengertian.  Moralitas  lebih  condong  pada pengertian  nilai  baik  dan  buruk  dari  setiap  perbuatan  manusia  itu  sendiri, sedangkan  etika  berarti  ilmu  yang  mempelajari  tentang  baik  dan  buruk. Jadi  bisa  dikatakan,  etika  berfungsi  sebagai  teori  tentang  perbuatan  baik dan  buruk.  Dalam  filsafat  terkadang  etika  disamakan  dengan  filsafat moral.[7]

Etika  membatasi  dirinya  dari  disiplin ilmu  lain  dengan  pertanyaan apa   itu   moral?   Ini   merupakan   bagian   terpenting   dari   pertanyaan-pertanyaan  seputar  etika.  Tetapi  di  samping  itu  tugas  utamanya  ialah menyelidiki  apa  yang  harus  dilakukan  manusia.  Semua  cabang  filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan filsafat etika membahas yang harus dilakukan.[8]

Secara terminology etika bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk  atau  kata  lainnya  ialah  teori  tentang  nilai.  Dalam  Islam  teori  nilai mengenal  lima kategoribaik-buruk,  yaitu  baik  sekali,  baik,  netral,  buruk dan buruk sekali. Nilai ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda apa pun jenisnya.[9]

2.      Profesi

Perkataan profesi dan profesional sudah sering digunakan dan mempunyai beberapa arti. Dalam percakapan sehari-hari, perkataan profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda: baan; Inggris: jobatau occupation), yang legal maupun yang tidak. Jadi, profesi diartikan sebagai setiap pekerjaan untuk memperoleh uang. Dalam arti yang lebih teknis, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeakhlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi. Keakhlian tersebut diperoleh melalui proses pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan (tinggi) tertentu, latihan secara intensif, atau kombinasi dari semuanya itu. Dalam kaitan pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan profesionalisme sebagailawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia olah-raga, yang sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai lawan dari pekerjaan sambilan.

Dalam  uraian  Ignas  Kleden  tentang  pengertian profesional    tersirat (atau    dapat    disimpulkan) pengertian    profesi    sebagai pekerjaan   tetap   dalam   bidang   tertentu   yang   dijalankan   secara   berkeahlian berdasarkan  penguasaan  ilmu,  jadi  dengan  menerapkan  ilmu,  tertentu  sehinggamampu menawarkan dan memberikan jasa yang bermutu tinggi yang sudah teruji secara ilmiah, dengan bayaran tinggi sesuai dengan mutu karya dan hasilnya yang ditawarkan  itu. Pandangan  ini  tampaknya  cocok  untuk  masyarakat  yang  tatanan ekonominya menganut kapitalisme.

3.      Hakim

Hakim  berasal  dari  kata  semakna dengan qâdhi yang berasal dari kata  artinya memutus. Sedang kan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau   orang   yang   memutuskan   perkara   dan  menetapkannya.  Adapun  pengertian  menurut syara’  yaitu  orang  yang  diangkat  oleh  kepala  negara  untuk  menjadi  hakim  dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan  dalam  bidang  hukum  perdata  oleh  karena  penguasa  sendiri  tidak  dapat menyelesaikan tugas peradilan. Sebagaimana pernah dipraktikkan oleh nabi Muhammad ketika  mengangkat  qâdhi  untuk  bertugas  menyelesaikan  sengketa  di  antara  manusia  di  tempat-tempat  yang  jauh,  sebagaimana  ia  telah  melimpahkan  wewenang  ini  pada  sahabatnya.  Hal  ini  terjadi  pada  sahabat  dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan Bani Abbasiah. Akibat dari semakin luasnya wilayah Islam dan kompleknya masalah yang terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan hakim-hakim  untuk  menyelesaikan  setiap  perkara  yang  terjadi  di  masyarakat.[10]

Hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan. Bahkan ia identik dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman sering kali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.[11]

Hakim adalah figur sentral dalam proses peradilan, senantiasa dituntut    untuk    membangun    kecerdasan    intelektual,    terutama kecerdasan  emosinal,  kecerdasan  moral  dan  spiritual,  jika  kecerdasan intelektual,  emosional,  dan  moral  spiritual  terbangun  dan  tepelihara dengan  baik  bukan  hanya  akan  memberikan  manfaat  kepada  diri sendiri,  tetapi  juga  akan  memberikan  manfaat  bagi  masyarakat  dalam konteks penegakan hukum.[12]

Seorang    hakim    harus    berpedoman    pada    norma    etik / moralitas yang  secara  inheren sesuai dengan  nilai-nilai  etika  Islam. Berhubungan dengan etika hakim, Abdul Manan berpendapat, bahwa hakim sebagai corong keadilan haruslah selalu menjaga segala tingkah lakunya (baik kebersihan pribadi ataupun perbuatannya). Hakim harus tidak  boleh terpengaruh  dengan  keadaan  di sekelilingnya   atau   tekanan dari   siapa   pundalam   mengeluarkan putusan.  Hakim  harus  menjauhkan  diri  dari keadaan  yang  dapat memengaruhi  mereka  di  dalam  menegakkan  keadilan, baik  di  dalam pengadilan ataupun  di  luar pengadilan.[13]

Oleh  karenanya, jumhur fuqaha mensyaratkan seorang hakim harus  seseorangyang adil,  yakni benar percakapannya, dhahir iman hatinya, selalu menjaga muru’ahnya, tidak  melakukan  perbuatan  yang  haram,  dan  dapat  dipercayabaik  di kala gembira maupun dalam keadaan marah.[14]

2.2. Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim

Dalam  menjalankan  tugasnya,  hakim  memiliki kebebasan untuk membuat keputusan terlepas  dari  pengaruh  pemerintah  dan  pengaruh lainnya. Hakim menjadi tumpuan dan  harapan  bagi  pencari  keadilan.  Hakim  juga memiliki kewajiban ganda, di satu pihak merupakan pejabat yang ditugasi menerapkan hukum  (izhâr  al-hukm)  terhadap  perkara  yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun tidak tertulis, di lain pihak sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk dapat menggali, memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Secara makro dituntut untuk  memahami  rasa  hukum  yang  hidup  di  dalam  masyarakat.[15]

Dalam undang-undang disebutkan tugas pengadilan  tidak  boleh  menolak  untuk  memeriksa,  mengadili  dan  memutus  suatu  perkara  yang  diajukan  dengan  dalih  bahwa  hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Artinya,  hakim  sebagai  unsur  pengadilan  wajib  menggali,  mengikuti  dan  memahami  nilai-nilai  hukum  dan  rasa  keadilan  yang  hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum yang  hidup  dalam  masyarakat  tersebut  seperti persepsi masyarakat tentang keadilan, kepastian, hukum dan kemanfaatan. Hal ini menjadi  tuntutan  bagi  hakim  untuk  selalu  meningkatkan  kualitasnya  sehingga  dalam  memutuskan perkara benar-benar berdasarkan hukum  yang  ada  dan  keputusannya  dapat  dipertanggungjawabkan.[16]

Dalam menyelesaikan suatu perkara ada beberapa  tahapan  yang  harus  di  lakukan  oleh   hakim   diantaranya   mengkonstatir   yaitu  yang  dituangkan  dalam  Berita  Acara  Persidangan  dan  dalam  duduknya  perkara  pada  putusan  hakim. Mengkonstatir  ini  dilakukan  dengan  terlebih  dahulu  melihat  pokok  perkara  dan  kemudian  mengakui  atau  membenarkan  atas  peristiwa  yang  diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian  terlebih  dahulu.  Selain  itu  mengkualifisir,   yaitu   yang   dituangkan   dalam  pertimbangan  hukum  dalam  surat  putusan.  Ini  merupakan  suatu  penilaian  terhadap  peristiwa  atas  bukti-bukti,  fakta-fakta  hukum  dan  menemukan  hukumnya.  Dan  terakhir  adalah  mengkonstituir,  yaitu  yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga  ini  merupakan  penetapan  hukum  atau  merupakan  pemberian  konstitusi  terhadap  perkara.[17]

Tahapan-tahapan  tersebut  menuntut  hakim untuk jeli dan hati-hati dalam mem-berikan  keputusan  sekaligus  menemukan  hukumnya,  karena  pada  dasarnya  hakim  dianggap  mengetahui  hukum  dan  dapat  mengambil  keputusan  berdasarkan  ilmu  pengetahuan   dan   keyakinannya   sesuai dengan  doktrin  Curia  Ius  Novit. Hal  ini  dijelaskan  dalam  undang-undang  bahwa  hakim  tidak  boleh  menolak  perkara  yang  diajukan  kepadanya  untuk  diperiksa  dan  diputus, dengan alasan bahwa hukum yang ada  tidak  ada  atau  kurang  jelas.[18]

Sementara  fungsi  hakim  adalah  menegakkan kebenaran sesungguhnya dari apa yang  dikemukakan  dan  dituntut  oleh  para  pihak  tanpa  melebihi  atau  menguranginya  terutama  yang  berkaitan  dengan  perkara  perdata,  sedangkan  dalam  perkara  pidana  mencari  kebenaran  sesungguhnya  secara  mutlak  tidak  terbatas  pada  apa  yang  telah  dilakukan oleh terdakwa, melainkan dari itu harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa.  Artinya,  hakim  mengejar  ke-benaran  materil  secara  mutlak  dan  tuntas.  Dan tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas  yang  menjadi  tanggung  jawabnya  untuk memberikan kepastian hukum semua perkara  yang  masuk  baik  perkara  tersebut  telah di atur dalam Undang-undang maupun yang  tidak  terdapat  ketentuannya.  Dengan  demikian,   terlihat   dalam   menjalankan   tanggung  jawabnya  hakim  harus  bersifat  obyektif, karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk undang-undang untuk memeriksa dan  mengadili  perkara,  dengan  penilaian  yang  obyektif  pula  karena  harus  berdiri  di  atas kedua belah pihak yang berperkara dan tidak  boleh  memihak  salah  satu  pihak.[19]

2.3. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Pada   tanggal 8   April Desember   2009, Ketua   Mahkamah Agung   dan   Ketua   Komisi   Yudisial membuat Surat   Keputusan Bersama   (SKB) Nomor   047/KMA/SKB/IV/2009   dan   Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang    Kode  Etik dan Pedoman  Perilaku Hakim.  Surat  Keputusan  Bersama  ini mengatur tentang prinsip-prinsip  dasar  Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku  Hakim yang  terdiri dari 10  (sepuluh)  aturan  perilaku  yaitu:  (1)  Berperilaku  Adil,  (2) Berperilaku  jujur,  (3)  Berperilaku  Arif  dan  Bijaksana,  (4)  Bersikap Mandiri,   (5)   Berintegrasi   Tinggi,   (6)   BertanggungJawab,   (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, dan (10) Bersikap Professional. Kesepuluh  prinsip etiktersebut  dalam  implementasinya  dapat dijelaskan sebagai berikut:[20]

1.      Berperilaku Adil

Adil  bermakna  menempatkan  sesuatu  pada  tempatnya  dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsipbahwa  semua  orang  sama  kedudukannya  di  depan  hukum.  Dengan demikian,   tuntutan   yang   paling   mendasar   dari   keadilan   adalah memberikan  perlakuan  dan  memberi  kesempatan  yang  sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Seseorang yang melaksanakan tugas atau   profesi   di   bidang   peradilan   yang   memikul   tanggung   jawab menegakkan  hukum  yang  adil  dan  benar  harus  selalu  berlaku  adil dengan  tidak  membeda-bedakan  orang.Adil  dalam  penerapannya adalah bahwa:

a.       Hakim  wajib  melaksanakan  tugas-tugas  hukumnya  dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan.

b.      Hakim  wajib  tidak  memihak,  baik  di  dalam  maupun  di  luar pengadilan    dan    tetap    menjaga    serta    menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

c.       Hakim wajib menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan     haknya     untuk     mengadili     perkara     yang bersangkutan.

d.      Hakim  dilarang  memberikan  kesan  bahwa  salah  satu  pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan[21] saksi     berada     dalam     posisi     yang     istimewa     untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan.

e.       Hakim    dalam    menjalankan    tugas    yudisialnya    dilarang menunjukkan   rasa   suka   atau   tidak   suka,   keberpihakan, prasangka,  atau  pelecehan  terhadap  suatu  ras,  jenis  kelamin, agama,  asalkebangsaan,  perbedaan  kemampuan  fisik  atau mental,  usia  atau  status  sosial  ekonomi  maupun  atas  dasar kedekatan  hubungan  dengan  pencari  keadilan  atau  pihak-pihak   yang   terlibat  dalam   proses   peradilan   baik  melalui perkataan maupun tindakan.

f.        Hakim   dalam   suatu   proses   persidangan   wajib   meminta kepada semua pihak yang terlibat proses persidangan.

g.      Hakim   dilarang   bersikap,   mengeluarkan   perkataan   atau melakukan  tindakan  lain  yang  dapat  menimbulkan  kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak   atau   kuasanya,   atau   saki-saksi,   dan   harus   pula menerapkan   standar   perilaku   yang   sama   bagi   advocat, penuntut,  pegawai  pengadilan  atau  pihak  lain  yang  tunduk pada arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan.

h.      Hakim  harus  memberikan keadilan kepada  semua  pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.

i.        Hakim  dilarang  menyuruh/mengizinkan  pegawai  pengadilan atau pihak-pihak  lain  untuk  mempengaruhi,  mengarahkan, atau   mengontrol   jalannya   sidang,   sehingga   menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara.

j.        Hakim mendengar Kedua Belah Pihak.

k.      Hakim  harus  memberikan  kesempatan  yang  sama  kepada setiap  orang  khususnya  pencari  keadilan  atau  kuasanya  yang mempunyai   kepentingan   dalam   suatu   proses   hukum   di Pengadilan.[22]

2.      Berperilaku Jujur

Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya  pribadi  yang  kuat  dan  membangkitkan  kesadaran  akan hakekat  yang  hak  dan  yang  batil.  Dengan  demikian,  akan  terwujud sikap  pribadi  yang  tidak  berpihak  terhadap setiap  orang  baik  dalam persidangan maupun diluar persidangan. Prilaku jujur hakim tercermin dalam sikap:

a.       Hakim   harus   berperilaku   jujur (fair)dan   menghindari perbuatan  yang  tercela  atau  yang  dapat  menimbulkan  kesan tercela.

b.      Hakim  harus  memastikan  bahwa  sikap,  tingkah  laku  dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum  lain  serta  para  pihak  berperkara,  sehingga  tercermin sikap   ketidakberpihakan   Hakim   dan   lembaga   peradilan (impartiality).

c.       Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami   atau   istri   Hakim,   orang   tua,   anak,   atau   anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah,    hibah,    warisan,    pemberian,    penghargaan    dan pinjaman  atau  fasilitas  dari:(a).  Advokat;(b).  Penuntut;(c). Orang yang sedang diadili;(d). Pihak lain yang kemungkinkan kuat  akan  diadili;dan  (e).  Pihak  yang  memiliki  kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang  diadili  atau  kemungkinan  kuat  akan  diadili  oleh[23] Hakim  yang bersangkutan  yang  secara  wajar  (reasonable) patut  dianggap  bertujuan  atau  mengandung  maksud  untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.

3.      Berperilaku Arif dan Bijaksana

Arif  dan  bijaksana  bermakna mampu  bertindak  sesuai  dengan norma-norma   yang   hidup dalam   masyarakat   baik   norma-norma hukum,   norma-norma   keagamaan,   kebiasaan-kebiasaan   maupun kesusilaan  dengan  memperhatikan  situasi  dan  kondisi  pada  saat  itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempuyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun. Arif dan bijaksana dalam Penerapannya:

a.       Hakim wajib menghindari tindakan tercela.

b.      Hakim,  dalam  hubungan  pribadinya  dengan  anggota  profesi hukum  lain  yang  secara  teratur  beracara di  pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.

c.       Hakim dilarang mengadili perkara di manaanggota keluargahakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak[24] yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut.

d.      Hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum untuk menerimaklien atau menerima anggota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut.

e.       Hakim   dalam   menjalankan   tugas-tugas   yudisialnya   wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya.

f.        Hakim   dilarang   menggunakan   wibawa   pengadilan   untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya.

g.      Hakim dilarang mempergunakan keterangan yang diperolehnya  dalam  proses  peradilan  untuk  tujuan  lain  yang tdk terkait dengan wewenang dan tugas yudisialnya.

h.      Hakim  dapat  membentuk  atau  ikut  serta  dalam  organisasi para  hakim  atau  turut  serta  dalam  lembaga  yang  mewakili kepentingan para hakim.

i.        Hakim  berhak melakukan  kegiatan  ekstra  yudisial, sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan yudisial, antara lain : menulis, memberi  kuliah,  mengajar  dan  turut  serta  dalam  kegiatan-kegiatan  yang  berkenaan  dengan  hukum,  sistem  hukum, ketatalaksanaan, keadilan atau hal-hal yang terkait dengannya.

j.        Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat yang  dapat  mempengaruhi,  menghambat  atau  mengganggu berlangsungnya  prosesperadilan  yang  adil,  independen,  dan tidak memihak.

k.      Hakim   tidak   boleh   memberi   keterangan   atau   pendapat mengenai  substansi  suatu  perkara di  luar proses  persidangan pengadilan,   baik   terhadap   perkara   yang   diperiksa   atau diputusnya maupun perkara lain.

l.        Hakim  yang  diberikan  tugas  resmi  oleh  Pengadilan  dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur beracara di Pengadilan   atau   informasi   lain   yang   tidak   berhubungan dengan substansi perkara dari suatu perkara.[25]

m.    Hakim  dapat  memberikan  keterangan  atau  menulis  artikel dalam  surat  kabar  atau  terbitan  berkala  dan  bentuk-bentuk kontribusi lainya yang dimaksudkan untuk menginformasikan kepada   masyarakat   mengenai   hukum   atau   administrasi peradilan   secara  umum   yang   tidak   berhubungan  dengan masalah substansi perkara tertentu.

n.      Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik,  atau  pembenaran  secara  terbuka  atas  suatu  perkara atau  putusan  pengadilan  baik  yang  belum  maupun  yang sudah   mempuyai   kekuatan   hukum   tetap   dalam   kondisi apapun.

o.      Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik,  atau  pembenaran  secara  terbuka  atas  suatu  perkara atau putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan hakim dalam perkara lain.[26]

4.      Bersikap Mandiri

Mandiri  bermakna  mampu  bertindak  sendiri  tanpa  bantuan pihak   lain,   bebas  dari   campur   tangan   siapapun   dan   bebas   dari pengaruh  apapun.Sikap  mandiri  mendorong  terbentuknya  perilaku Hakim  yang  tangguh,  berpegang  teguh  pada  prinsip  dan  keyakinan atas  kebenaran  sesuai  tuntutan  moral  dan  ketentuan  hukum  yang berlaku.[27]

5.      Berintegritas TinggiIntegritas   bermakna   sikap   dan   kepribadian   yang   utuh, berwibawa,   jujur,   dan   tidak   tergoyahkan.   Integritas   tinggi   pada hakekatnya  terwujud  pada  sikap  setia  dan  tangguh  berpegang  pada[28] nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.Integritas  tinggi  akan  mendorong  terbentuknya  pribadi  yang  berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta selalu  berusaha  melakukan  tugas  dengan  cara-cara  terbaik  untuk mencapai tujuan terbaik.[29]

6.      Bertanggung Jawab

Bertanggung   bermakna   kesediaan   dan   keberanian   untuk melaksanakan  sebaik-baiknya  segala  sesuatu  yang  menjadi  wewenang dan  tugasnya,  serta  memiliki  keberanian  untuk  menanggung  segala akibatatas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.

7.      Menjunjung Tinggi Harga Diri

Harga   diri   bermakna   bahwa   pada   diri   manusia   melekat martabat  dan  kehormatan  yang  harus  dipertahankan  dan  dijunjung tinggi   oleh   setiap   orang.   Prinsip   menjunjung   tinggi   harga diri, khususnya  Hakim,  akan  mendorong  dan  membentuk  pribadi  yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan.

8.      Berdisiplin Tinggi

Disiplin  bermakna  ketaatan  pada  norma-norma  atau  kaidah-kaidah  yang  diyakini  sebagai  panggilan  luhur  untuk  mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan   mendorong    terbentuknya    pribadi    yang    tertib    di   dalam melaksanakantugas,  ikhlas  dalam  pengabdian,  dan  berusaha  untuk menjadi  teladan  dalam  lingkungannya,  serta  tidak  menyalahgunakan amanah    yang    dipercayakan    kepadanya . Hakim    berkewajiban mengetahui  dan  mendalami  serta  melaksanakan  tugas  pokok  sesuai dengan  peraturan  perundangan-undangan  yang  berlaku,  khususnya hukum acara, agar  dapat  menerapkan  hukum  secara  benar dan dapat memenuhi  rasa  keadilan  bagi  setiap  pencari  keadilan.Hakimjugaharus  menghormati  hak-hak  para  pihak  dalam  proses  peradilan  dan berusaha  mewujudkan  pemeriksaan  perkara  secara  sederhana,  cepat dan biaya ringan.

9.      Berperilaku Rendah Hati

Rendah    hati     bermakna     kesadaran     akan    keterbatasan kemampuan  diri,  jauh  dari  kesempurnaan  dan  terhindar  dari  setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang   lain,   menumbuhkembangkan   sikap   tenggang   rasa,   serta mewujudkan  kesederhanaan,  penuh  rasa  syukur  dan  ikhlas  di  dalam mengemban  tugas.Hakim  harus  melaksananakan  pekerjaan  sebagai sebuah  pengabdian  yang  tulus,  pekerjaan  Hakim  bukan  semata-mata sebagai  mata  pencaharian  dalam  lapangan  kerja  untuk  mendapat penghasilan     materi,     melainkan     sebuah     amanat     yang     akan dipertanggungjawabkan  kepada  masyarakat  dan  Tuhan  Yang  Maha Esa.

10.  Bersikap Profesional

Profesional  bermakna  suatu  sikap  moral  yang  dilandasi  oleh tekad    untuk    melaksanakan    pekerjaan    yang    dipilihnya    dengan kesungguhan,  yang  didukung  oleh  keahlian  atas  dasar  pengetahuan, keterampilan  dan  wawasan  luas. Sikap  profesional  akanmendorong terbentuknya  pribadi  yang  senantiasa  menjaga  dan  mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja,  sehingga  tercapai  setinggi-tingginya  mutu  hasil  pekerjaan, efektif  dan  efisien.Hakim  harus  mengambil  langkah-langkah  untuk memelihara   dan   meningkatkan   pengetahuan,   keterampilan   dan kualitas   pribadi   untuk   dapat   melaksanakan   tugas-tugas   peradilan secara baik.[30]

Pedoman perilaku hakim tersebut, harus menjiwai para hakim dalam tugas mengadili suatu perkara, agar menghasilkan putusan yang adil  dan  benar,  kepastian  hukum  yang  karenanya  akan  membawa kemanfaatan  (sebuah  putusan  yang  ideal).  Pedoman  perilaku  hakim ini,  harus  menjadi  ruh  dan  napas  setiap  hakim  baik  dalam  lingkup kedinasan maupun diluar dinas. Dalam upaya penerapan kode etik dan perilaku  hakim  tersebut,  hakim  agung  harus  mampu  melaksanakan perannya  karena  hakim  penempati  posisi  strategis  dalam  lingkup kekuasaan kehakiman. Berkaitan  dengan  penerapan  kode  etik  dan  pedoman  perilaku hakim tersebut, Ahmad Fauzi,mengumpamakan dengan simbol alam yaitu “astabrata”yang  ada  kaitannya  dengan  tugas  para  hakim,  yakni: sifat  api,  yakni  tegas dan  bersemangat, sifat  angin,  yakni dinamis dan menyegarkan,  sifat  awan,  yakni  kewibawaan,  sifat  bintang,  yakni kompas bagi yang tersesat, sifat bulan, yakni penerang kegelapan, sifat matahari,  yakni  mencerminkan  kedisiplinan,  sifat  samudera,  yakni simbol keluasan pikiran. Dalam  penerapan  kode  etik  dan  perilaku  hakim,  peran  hakim adalah:

1)      Memiliki dan mampu menempatkan sikap tegas dan independen dalam  memutus  suatu  perkara,  terbebas  dari  intervensi  pihak manapun.

2)      Mampu    menggali    dan    memahami    nilai-nilai    kehidupan masyarakat, agar putusannya menghasilkan keadilan substantif.

3)      Memiliki  sikap  tegas  berani  mengambil  resiko  dari  putusannya, independen, dan memperlakukan secara sama.

4)      Mampu mewujudkan perilakuyang mencerminkan keteladanan.

5)      Melalui putusannya mampu menjadi penerang, petunjuk tentang masalah-masalah hukum bagi para pihak.[31]

6)      Dalam  menjalankan  tugas  dan  dalam  kehidupan  sehari-hari mencerminkan   disiplin   yang   tinggi   tanpa   pamrih,   sebagai pengabdian tertinggi abdi Negara.

7)      Setiap  putusannya  menunjukkan  kualitas  dan  profesionalitas yang   tinggi,   menunjukkan   luasnya   wawasan   hukum   yang dimiliki.22Kode  etik  profesi  hakim  sebagaimana  dijelaskan  di  atas,  pada prinsipnya  mengandung  nilai-nilai  moral  yang  mendasari  kepribadian secara  professional,  yaitu  kebebasan,  keadilan  dan  kejujuran di  mananilai-nilai tersebut merupakan satu kesatuan yang secara inheren yang sesuai dengannilai-nilai etika Islam.[32]

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1. Kesimpulan

1.   Etika, Profesi, Hakim

Etika   adalah   gambaran   umum   rasional   mengenai   hakekat   dan   dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Oleh  karena  itu  penelitian  etika  selalu  menempatkan  tekanan  khusus  terhadap definisi konsep-konsep etika, justifikasi, dan penelitian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk.

profesi    sebagai pekerjaan   tetap   dalam   bidang   tertentu   yang   dijalankan   secara   berkeahlian berdasarkan  penguasaan  ilmu,  jadi  dengan  menerapkan  ilmu,  tertentu  sehingga mampu menawarkan dan memberikan jasa yang bermutu tinggi yang sudah teruji secara ilmiah, dengan bayaran tinggi sesuai dengan mutu karya dan hasilnya yang ditawarkan  itu

Hakim  secara bahasa adalah orang yang bijaksana atau   orang   yang   memutuskan   perkara   dan  menetapkannya. 

2.   Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim

Dalam menjalankan  tugasnya,  hakim  memiliki kebebasan untuk membuat keputusan terlepas  dari  pengaruh  pemerintah  dan  pengaruh lainnya. Hakim menjadi tumpuan dan  harapan  bagi  pencari  keadilan.

Sedangkan Fungsi hakim yaitu menegakkan kebenaran sesungguhnya dari apa yang  dikemukakan  dan  dituntut  oleh  para  pihak  tanpa  melebihi  atau  menguranginya  terutama  yang  berkaitan  dengan  perkara  perdata,  sedangkan  dalam  perkara  pidana  mencari  kebenaran  sesungguhnya  secara  mutlak  tidak  terbatas  pada  apa  yang  telah  dilakukan oleh terdakwa, melainkan dari itu harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa.

3.   Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku  Hakim

Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku  Hakim yang  terdiri dari 10  (sepuluh)  aturan  perilaku  yaitu: 

a.       Berperilaku  Adil.

b.      Berperilaku  jujur.

c.       Berperilaku  Arif  dan  Bijaksana,.

d.      Bersikap Mandiri.

e.       Berintegrasi   Tinggi.

f.        BertanggungJawab.

g.      Menjunjung Tinggi Harga Diri.

h.      Berdisiplin Tinggi.

i.        Berperilaku Rendah Hati, dan

j.         Bersikap Professional

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aunur Rohim Faqih, M. (2013). KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM. Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia , 218.

bagus, L. (2000). kamus filsafat. Jakarta: PT Gramedia pustaka.

Bakry, H. (1978). Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya.

Baqir, H. (2005). Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan.

Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: Gramedia.

fakhry, M. (1996). Etika Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sarwoko. Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba .

Sonny, K. A. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Zulaikha, S. (2014). ETIKA PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. AL-‘ADALAH , 90.

 

 

 



[1] Lorens bagus,kamus filsafat,(Jakarta: PT Gramedia pustaka, 2000), hlm. 217.

[2] Ibid., Hlm 672.

[3] Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat,( Jakarta: Wijaya, 1978), hlm. 9.

[4] Majid fakhry, Etika Dalam Islam, alih bahasa Zakiyuddin Baidawi, cet. ke-1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm.15.

[5] Keraf. A. Sonny.Etika Lingkungan,(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 2.

[6] Ibid.

[7] Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung : Mizan, 2005), hlm. 189-190.

[8] K Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 27.

 

[9] Sarwoko, Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan, (Jakarta: Salemba), hlm. 80.

[10] Siti Zulaikha, ETIKA PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, AL-‘ADALAH Vol. XII No. 1 Tahun 2014, hlm. 90.

[11]  Aunur Rohim Faqih, MH, KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia Vol. 3 No. 1 Tahun 2013, hlm. 218.

[12] Ibid., Hlm. 219.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Siti Zulaikha, op. cit. hlm. 91

[16] Ibid.Hlm 92.

[17] Ibid..

[18] Ibid.

[19] Ibid.

[20] Aunur Rohim Faqih, Op. cit. hlm 225.

[21] Ibid.

[22] Ibid., Hlm 226.

[23] Ibid., Hlm 227.

[24] Ibid., Hlm 228.

[25] Ibid., Hlm. 229.

[26] Ibid., hlm. 230.

[27] Ibid.

[28] Ibid.

[29] Ibid., hlm. 231.

[30] Ibid. Hlm. 232.

[31] Ibid., Hlm. 233.

[32] Ibid., Hlm. 234.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar